Perebutan suara Nahdliyin di tanah Jawa, semakin terbuka dan akan memecah barisan pemilih, PKB Gus Dur versus Barisan PKB Muhaimin, Nahdlatul Ulama (suara PBNU) vs NU Pimpinan Wilayah, juga suara NU dari
Badan Otonom, Muslimat NU, GP Ansor, Fatayat NU, IPNU dan IPPNU, juga pecahan-pecahan lain dalam organisasi lebih spesifik.
Seperti diketahui, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2024 sebanyak 204.807.222 pemilih. Penetapan DPT dilakukan melalui Rapat Pleno Terbuka Rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap (DPT) Tingkat Nasional Pemilu Tahun 2024, di Gedung KPU, Minggu (2/7/2023).
Sementara peta suara pemilih di Pemilu Februari 2024 untuk tanah Jawa, memotret bahwa Provinsi DKI Jakarta 8.252.897 pemilih, Provinsi Jawa Barat 35.714.901 pemilih, Provinsi Jawa Tengah 28.289.413 pemilih, Provinsi DI Yogyakarta 2.870.974 pemilih, Provinsi Jawa Timur 31.402.838 pemilih, Provinsi Banten 8.842.646 pemilih. Total suara pemilih 6 provinsi 115.373.669. (sekitar 57 persen) dari total suara nasional.
Kondisi riil di lapangan terpotret bahwa suara Nahdliyin, terpecah belah hampir di seluruh partai politik. Bahkan santri Abangan (muslim-muslimat Jawa) lebih memilih PDIP, karena kedekatan emosional dengan Soekarno (Bung Karno), dan kekuatan ajaran Jawa.
Suara santri di pesantren dan santri kampung, memang lebih dekat ke PKB, tetapi masih “suara mengambang” karena masih terseret-seret ke sejumlah partai, ketika kiai dan ustad panutan mereka, menjadi calon legislatif partai tertentu. ⁰
Bagaimana dengan perebutan suara untuk Presiden dan Calon Presiden dengan peta suara seperti itu? Semua pasti menunggu keajaiban. Karena “tidak ada keajaiban di langit dan di bumi kecuali dari Allah Subahanahu wa Ta’ala”.
Percaturan politik nasional, ketika terpecah pecah dalam kotak sirkus berbeda-beda pula, maka pilihan-pilihan terbaik di antara peristiwa dan pengalaman terburuk masa lalu, memang sulit mengambil sikap dalam berperilaku politik secara demokratis. Tentu berbagai perimbangan selalu di kedepankan untuk menyelamatkan bangsa dan negara, serta kehidupan bermasyarakat dalam situasi dan kondisi seperti apapun, tetap suasana kebatinan tentrem, aman, nyaman, sejahtera.
Sekedar melihat gambaran Hasil Pemilu pada tahun 1955, NU memperoleh hasil yang memuaskan. NU berada di urutan ketiga. Urutan pertama adalah Partai Nasionalis Indonesia (PNI) mendapatkan suara 8.434.653 (22,32 persen) dengan perolehan 57 kursi. Kedua Partai Masyumi mendapatkan suara 7.903.886 (20,92 persen) dengan perolehan 57 kursi. Ketiga, Partai Nahdlatul Ulama (NU) mendapatkan suara 6.955.141 (18,41 persen) dengan perolehan 45 kursi. Keempat, Partai Komunis Indonesia (PKI) mendapatkan suara 6.179.914 (16,36 persen) dengan perolehan 39 kursi.
Sekadar tahu bahwa Hasip Pemilu 1971 1. Sekber Golkar 62,8% suara (236 kursi DPR) 2. Partai Nahdlatul Ulama (NU) dengan 18,6% suara (58 kursi). 3. Parmusi dengan 5,3% suara (24 kursi). 4. PNI dengan 6,9% (20 kursi). 5. PSII dengan 2,3% suara (10 kursi). 6. Parkindo dengan 1,3% suara (7 kursi). 7. Partai Katolik dengan 1,1% suara (3 kursi). 8. Perti dengan 0,6% suara (2 kursi). 9. IPKI dengan 0,6% suara (0 kursi). 10.Murba dengan 0,08% suara (0 kursi).
Meskipun perolehan suara PNI lebih besar dari Parmusi, jumlah kursi yang didapat PNI lebih kecil dari Parmusi. Hal ini terjadi karena sistem penghitungan suara didasarkan pada UU No. 15 Tahun 1969 di mana semua kursi terbagi habis di setiap daerah pemilihan. Dengan logika demikian, rasio perolehan kursi PNI dan Parmusi dapat berterima. “Cara ini ternyata mampu menjadi mekanisme tidak langsung untuk mengurangi jumlah partai yang meraih kursi dibandingkan penggunaan sistem kombinasi. Tetapi, kelemahannya sistem demikian lebih banyak menyebabkan suara partai terbuang percuma,” dalam catatan kpu.go.id dengan judul Pemilu 1971 yang dimuat pada 21 Februari 2008.
Suara Nahdliyin ketika NU berpartai pada masa itu, selalu menduduki “Tiga Besar”, walaupun perkembangan kekinian bahwa PNI dan PKI banyak terserap menjadi sangrai Abangan, sebagian kecil ke partai-partai berlebel NU, sebagian masih bertahan di partai berwarna corak Merah.
Perjalanan Pencapresan sudah Koalisi Indonesia Maju, ketika gandeng renteng Prabowo dengan Muhaimin, dalam hitungan akal sehat sudah tamat. Karena seperti balapan F-1 dan MotoGP NasDem menyalip di tikungan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Sabtu sore (2 September 2023), di Hotel Yamato / Majapahit Surabaya, pasangan bakal capres dan cawapres yang diusung Koalisi Perubahan (Partai Nasdem, PKB, PKS), Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (Cak Imin), dideklarasikan.
PDID ketika sukses mempertahankan pemerintahan Joko Widodo periode kedua, dalam tempo singkat mengandung Prof KH Ma’ruf Amin (Wakil Presiden, sekarang). Dan tidak mau kecolongan kekuatan suara Nahdliyin bergandeng tangan dengan santri Abangan dan nasionalis-sosialis, Rabu (18/10/2023) Ketua Umum PDID Megawati Soekarnoputri mengumumkan
Koalisi partai pendukung calon presiden (capres) Ganjar Pranowo mendeklarasikan Mahfud MD sebagai calon wakil presiden (cawapres).
Pertarungan cawapres Muhaimin dan Mahfud MD, merebut suara Nahdliyin akan semakin ramai dalam berbagai kalkulasi politik. Apalagi jika PBNU turut campur. Apalagi jika PWNU bersikap independen di wilayah kewenangan mangatur umat. Apalagi jika pesantren-pesantren terbelah-belah dalam menentukan pilihan. Apalagi Prabowo belum mendeklarasikan cawapres dengan kekuatan suara di Jawa serta kekuatan suara Nahdliyin juga berpengaruh.
Percaturan politik dalam kalkulasi suara memang bukan segalanya. Tetapi mengukur kekuatan sendiri dan menghitung kekuatan lawan, barangkali lebih tepat untuk realistis melihat potret kekuatan sesunggunya. Inilah jati diri pertarungan tim sukses para Capres dan Cawapres, setelah calon dari kader NU bersaing atau berkompetisi berebut suara Nahdliyin. Terutama di tanah Jawa. (*)