Jika saat ini kita sudah merdeka dan berdaulat namun belum terwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara maka kewajiban seluruh rakyat untuk kembali pada usaha ikhtiar ikhlas mencintai bangsa Indonesia. Sandaran Mbah Hasyim, tentu melihat kemaslahatan yang lebih luas, yakni kemerdekaan sebuah bangsa yang akan mengantarkan pada kemakmuran dan keadilan sosial. Tanpa didasari akan kesadaran membela tanah airnya, besar kemungkinan kolonialisme akan terus eksis di bumi pertiwi Indonesia.
Bagaimana dengan kondisi sekarang? tentulah mengisi kemerdekaan sesuai kemampuan dan keahliannya. Bagi politikus yang sudah berada di kursi parlemen atau duduk manja di partai, bikin komitmen dan UU yang berpihak pada kepentingan rakyat. Tidak kalah penting, birokrat yang sudah nangkring di posisi penting, bikin rakyat gemuyuh (senyum) dengan layanan publik sederhana tanpa ada pungli dan KKN.
Dalam dimensi pribadi, cinta tanah air dapat diwujudkan melalui belajar tekun, menjaga lingkungan, menghormati orang tua dan guru, menghargai sesama teman meskipun berbeda keyakinan, belajar agama kepada kiai atau ulama secara mendalam, dan memberikan manfaat bagi umat.
Tanah air sebagaimana yang kita ketahui adalah negeri tempat kelahiran. Ali bin Muhammad bin Ali Al-Jurjani (1984) mendefinisikan hal ini dengan istilah al-wathan al-ashli yaitu tempat kelahiran seseorang dan negeri di mana ia tinggal di dalamnya. Al-Jurjani mengatakan, “Al-wathan al-ashli adalah tempat kelahiran seseorang dan negeri di mana ia tinggal di dalamnya.”
Pada dasarnya, setiap manusia itu memiliki kecintaan kepada tanah airnya sehingga ia merasa nyaman tinggal di dalamnya, merindukannya ketika jauh, mempertahankannya saat diserang dan akan marah ketika tanah airnya dicela. Dengan demikian mencintai tanah air adalah menjadi tabiat dasar manusia.
Cinta tanah air dalam al-Qur’an dan menurut para ahli tafsir, sesuai firmanNya; “Dan sesungguhnya jika seandainya Kami perintahkan kepada mereka (orang-orang munafik): “Bunuhlah diri kamu atau keluarlah dari kampung halaman kamu!” niscaya mereka tidak akan melakukannya, kecuali sebagian kecil dari mereka…” (QS. An-Nisa’: 66)
Dalam Tafsir al-Kabir, al-Imam Fakhr Al-Din al-Razi menafsirkan ayat di atas, “Allah menjadikan meninggalkan kampung halaman setara dengan bunuh diri.” Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa meninggalkan tanah air bagi orang-orang yang berakal adalah perkara yang sangat sulit dan berat, sama sebagaimana sakitnya bunuh diri. Jadi, cinta tanah air merupakan fitrah pada jiwa manusia.
Sedang cinta tanah air dalam hadits diriwayatkan sahabat Anas, bahwa Nabi SAW. ketika kembali dari bepergian dan melihat dinding-dinding Madinah, beliau mempercepat laju untanya. Dan apabila beliau menunggangi unta maka beliau menggerakkannya (untuk mempercepat) karena kecintaan beliau pada Madinah.” (HR. Al-Bukhari, Ibn Hibban dan al-Turmudzi)
Bagi Al Faqir, belajar kepada bangsa-bangsa lain yang penduduk negerinya berpecah belah, saling menumpahkan darah, saling bunuh dan masing-masing mereka berjuang atas nama agama yang sama, namun mereka tidak peduli kepada nasib tanah airnya. Itu semuanya terjadi karena kecintaan mereka pada agama yang tidak diiringi dengan kecintaan kepada tanah air yang juga merupakan tuntutan agamanya. Bagaimana dengan kita? Tentu andalah yang bisa menjawab dengan bukti kecintaan terhadap negeri ini, bukan sekedar bisa mencaci maki, tapi dengan akal sehat dan budi pekerti luhur. Wallahu a’lam bish-showab. (*)