SAUDARAKU sebangsa setanah air. Hampir setiap tahun memperingati hari kemerdekaan Republik Indonesia (RI), hingga HUT RI ke 78, Al Faqir tetap semangat sebagai penerus dan pengisi kemerdekaan, walau ada pikiran bersyukur, bahagia juga khawatir.
Bersyukur karena berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan pengorbanan para pejuang, ulama, santri, tokoh nasionalis, masyarakat dan rakyat saling bahu-membahu merebut kemerdekaan. Bahagia, disebabkan pengorbanan darah, nyawa, harta dan jiwa tuntas usai dibacakan Proklamasi oleh Bung Karno sebagai wujud kedaulatan, bahwa kemerdekaan RI pada Jum’at Legi, 17 Agustus 1945, bukan pemberian Belanda, Jepang, dan negara menjajah.
Nah, kekhawatiran itu masih menggelayut di pikiran, jiwa dan hati Al Faqir terhadap pemegang mandat kekuasaan dari Presiden, DPR, MPR, DPD, Polri, Kejaksaan, TNI,bl DPRD, menteri dan pejabat publik, Gubernur, Bupati serta Walikota belum mampu menjadi pejabat yang amanah, Siddiq, Tabligh, Fathonah.
Persaingan posisi jabatan pemerintahan menjadi polemik panjang, saling curiga, saling memukul bukan merangkul, pada akhirnya rakyat yang jadi korban! Setuju?.
Kalau memang bangsa ini berdaulat, merdeka dan mampu melindungi segala hajat dan kepentingan rakyat, bukan hanya segelintir orang. Buktinya masih ada keluhan masyarakat merasa bukan hidup di negerinya sendiri. Sebaliknya, ada orang asing demi penanaman modal, melanggengkan kekuasaan, mendapatkan sambutan istimewa hingga ditawari sebagai warga negara. Mudah-mudahan hanya ada di negeri Antah-berantah.
Mari kita renungkan fatwa Sayyidina Umar bin Khathab:
مَتَى اسْتَعْبَدْتُم النَّاسَ وَقَدْ وَلَدَتْهُمْ أُمَّهَاتُهُم أَحْرَارًا
“Sejak kapan kalian memperbudak manusia, sedang ibu-ibu mereka melahirkan mereka sebagai orang-orang yang merdeka.”
Syech Musthofa Al-Ghalayini dalam karyanya Idhatun Nasyi’in juga menyampaikan:
أَنَّ لِلأُمَمِ أَجَالًا وَأَجَلُ كُلِّ أمَّةٍ يَوْمَ تَفْقَدُ حُرِّيَّتُهَا
“Setiap bangsa memilika ajal yang menjadi akhir (kematiannya), dan ajal setiap bangsa itu adalah ketika mereka (rakyat) kehilangan kemerdekaannya.”
Kondisi ini yang bisa merasakan mereka yang terpinggirkan. Atau kepentingan politiknya tidak terakomodir. Tapi, kalau ada rakyat yang buta pemerintahan, politik, hanya ingin menyambung hidup lantas dipersulit kemerdekaannya, inilah tanda-tanda sinyal bahaya.
Dan, ingat saat hari kemerdekaan dikumandangkan di bulan yang mulia, 9 Ramadan 1364 H, pembukaan UUD 1945, menyebut, “Atas berkat Rahmat Allah rakyat Indonesia menyatakan kemerdekaannya….”
Saat itu, seluruh anak bangsa bersatu untuk menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), tidak pernah terpikirkan apakah istrinya akan menjadi janda, anaknya menjadi yatim. Yang terpikir hanyalah merdeka atau mati. Tentu saja yang bakal menikmati adalah anak cucu kita.
Ingat dengan pernyataan sang Proklamator Bung Karno; “Jangan engkau tanyakan apa telah diberikan bangsa ini padamu, tanyakan pada diri kalian apa yang bisa engkau berikan kepada bangsa ini.”
Mari kita mengingat kembali, kisah perang Ahzab atau Khandaq, perang yang terjadi pada masa Rasulullah SAW. Satu tahun setelah kemenangan yang diperoleh kafir Quraisy dalam perang Uhud, mereka dan sekutu-sekutunya merencanakan peperangan ke Madinah sehingga pecahlah perang tersebut. Perang demi membela diri dan mempertahankan keyakinan Tauhid dari gangguan kaum musyrikin.
Saat perang Khandaq, umat Islam didera sejumlah kesulitan karena jumlah pasukan relatif sedikit. Karena kalah jumlah, Rasulullah SAW atas usul sahabat Salman Al-Farisi (Persia) membuat pertahanan berupa parit (Khandaq).
Saat membuat parit, Rasulullah SAW ikut terjun langsung. Setelah berhari-hari membuat parit itulah, pasokan makanan di Madinah terus menipis, sehingga terjadi kelaparan. Untuk menghilangkan rasa lapar, sahabat-sahabat dan Rasulullah SAW mengganjal perut dengan batu. Demi kemerdekaan mereka rela menahan lapar.
Suatu saat ada seorang sahabat yang karena sudah tidak kuat dengan rasa lapar menghadap Rasulullah, “Ya Rasulullah, kami sudah mengganjal perut kami dengan satu batu, tapi kami tetap tidak kuat menahannya.”
Rasulullah SAW tersenyum seraya memperlihatkan ikatan di perutnya, ternyata sudah ada 2 batu terikat di perut beliau. Sehingga saat para sahabat merasa lapar, Rasulullah jauh lebih lapar. Inilah jiwa pemimpin Rasulullah, yang seolah saat ini sudah jarang kita temukan.
Secara umum, yang dialami Rasulullah beserta sahabatnya itu merupakan contoh kecil tentang betapa mahalnya sebuah kemerdekaan: kemerdekaan untuk keyakinan, terpenuhi kebutuhan dasar, dan kemerdekaan hidup tenang dan damai. Untuk meraih itu semua, mereka rela mengorbankan segalanya. Demikian pula yang dilakukan pahlawan bangsa Indonesia.
Dalam skala kecil, mungkin masih bisa kita miliki jiwa pengorbanan dalam diri kita. Sebagaimana orang tua berkorban untuk anak-anaknya. Lantas, apakah kita masih rela dan mau berkorban untuk orang lain, orang-orang di sekitar kita? Tentu diri kita sendiri yang bisa menjawabnya.
Jujur, bangsa kita saat ini dilanda krisis kepemimpinan, krisis kepercayaan. Semua seolah diukur dengan kepentingan jangka pendek, sehingga politik lah yang menjadi panglima, keuntungan yang menjadi tujuan. Kita terlalu picik dengan keadaan. Jika ada pemimpin di sekitar kita ingin memberikan contoh yang baik, kita mencemooh itu adalah pencintraan dan lain sebagainya. Apakah karena jiwa kepahlawanan dalam diri masyarakat kita sudah luntur.
Yang kita takutkan—dikarenakan sedikit sekali orang yang baik, sehingga kalau ada orang baik dianggap sebagai pencitraan. Al Faqir, menyadari kondisi saat ini, yang berperan sebagai manusia munafik sulit terdeteksi. Mereka hanya mengumbar propaganda. Usai itu, hilang berlalu.
Di akhir tulisan ajang aspirasi ini, mari kita telaah asbabun nuzul (riwayat turunnya) QS Al Ahzab: 28-29
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لِّأَزْوَاجِكَ إِن كُنتُنَّ تُرِدْنَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا فَتَعَالَيْنَ أُمَتِّعْكُنَّ وَأُسَرِّحْكُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا (28) وَإِن كُنتُنَّ تُرِدْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالدَّارَ الْآخِرَةَ فَإِنَّ اللَّهَ أَعَدَّ لِلْمُحْسِنَاتِ مِنكُنَّ أَجْرًا عَظِيمًا (29)
“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, “Jika kamu sekalian menginginkan kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepadamu mut’ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. Dan jika kamu sekalian menghendaki keridhoan Allah dan Rasulnya serta (kesenangan) di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik di antaramu pahala yang besar.”
Dalam Tafsir Ibnu ‘Ashur dijelaskan tentang latar belakang turunnya ayat tersebut. Saat Bani Quraidlah berhasil ditaklukan, kaum Muslimin mendapatkan harta ghanimah (rampasan) yang sangat banyak.
Istri-istri Rasulullah menganggap beliau berkecukupan harta, kemudian istri-istri Nabi meminta nafkah lebih kepada Rasulullah SAW.
Dari sinilah letak godaan para pemimpin. Jika, Rasulullah rela berlapar dahaga demi kemerdekaan dan kedaulatan umat, mengapa pemimpin sekarang malah menyiapkan sindikasi, nepotisme, dan kolusi untuk merebut jabatan dunia. Semoga bangsa Indonesia selalu dalam Pertolongan dan Perlindungan Allah SWT. Wallahu a’lam bish-showab. Merdeka !!! (*)
*) Penulis HS Makin Rahmat, Santri Pinggiran, Wartawan UKW Utama dan Ketua SMSI Jatim