Saat membuat parit, Rasulullah SAW ikut terjun langsung. Setelah berhari-hari membuat parit itulah, pasokan makanan di Madinah terus menipis, sehingga terjadi kelaparan. Untuk menghilangkan rasa lapar, sahabat-sahabat dan Rasulullah SAW mengganjal perut dengan batu. Demi kemerdekaan mereka rela menahan lapar.
Suatu saat ada seorang sahabat yang karena sudah tidak kuat dengan rasa lapar menghadap Rasulullah, “Ya Rasulullah, kami sudah mengganjal perut kami dengan satu batu, tapi kami tetap tidak kuat menahannya.”
Rasulullah SAW tersenyum seraya memperlihatkan ikatan di perutnya, ternyata sudah ada 2 batu terikat di perut beliau. Sehingga saat para sahabat merasa lapar, Rasulullah jauh lebih lapar. Inilah jiwa pemimpin Rasulullah, yang seolah saat ini sudah jarang kita temukan.
Secara umum, yang dialami Rasulullah beserta sahabatnya itu merupakan contoh kecil tentang betapa mahalnya sebuah kemerdekaan: kemerdekaan untuk keyakinan, terpenuhi kebutuhan dasar, dan kemerdekaan hidup tenang dan damai. Untuk meraih itu semua, mereka rela mengorbankan segalanya. Demikian pula yang dilakukan pahlawan bangsa Indonesia.
Dalam skala kecil, mungkin masih bisa kita miliki jiwa pengorbanan dalam diri kita. Sebagaimana orang tua berkorban untuk anak-anaknya. Lantas, apakah kita masih rela dan mau berkorban untuk orang lain, orang-orang di sekitar kita? Tentu diri kita sendiri yang bisa menjawabnya.
Jujur, bangsa kita saat ini dilanda krisis kepemimpinan, krisis kepercayaan. Semua seolah diukur dengan kepentingan jangka pendek, sehingga politik lah yang menjadi panglima, keuntungan yang menjadi tujuan. Kita terlalu picik dengan keadaan. Jika ada pemimpin di sekitar kita ingin memberikan contoh yang baik, kita mencemooh itu adalah pencintraan dan lain sebagainya. Apakah karena jiwa kepahlawanan dalam diri masyarakat kita sudah luntur.
Yang kita takutkan—dikarenakan sedikit sekali orang yang baik, sehingga kalau ada orang baik dianggap sebagai pencitraan. Al Faqir, menyadari kondisi saat ini, yang berperan sebagai manusia munafik sulit terdeteksi. Mereka hanya mengumbar propaganda. Usai itu, hilang berlalu.
Di akhir tulisan ajang aspirasi ini, mari kita telaah asbabun nuzul (riwayat turunnya) QS Al Ahzab: 28-29
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لِّأَزْوَاجِكَ إِن كُنتُنَّ تُرِدْنَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا فَتَعَالَيْنَ أُمَتِّعْكُنَّ وَأُسَرِّحْكُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا (28) وَإِن كُنتُنَّ تُرِدْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالدَّارَ الْآخِرَةَ فَإِنَّ اللَّهَ أَعَدَّ لِلْمُحْسِنَاتِ مِنكُنَّ أَجْرًا عَظِيمًا (29)
“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, “Jika kamu sekalian menginginkan kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepadamu mut’ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. Dan jika kamu sekalian menghendaki keridhoan Allah dan Rasulnya serta (kesenangan) di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik di antaramu pahala yang besar.”
Dalam Tafsir Ibnu ‘Ashur dijelaskan tentang latar belakang turunnya ayat tersebut. Saat Bani Quraidlah berhasil ditaklukan, kaum Muslimin mendapatkan harta ghanimah (rampasan) yang sangat banyak.
Istri-istri Rasulullah menganggap beliau berkecukupan harta, kemudian istri-istri Nabi meminta nafkah lebih kepada Rasulullah SAW.
Dari sinilah letak godaan para pemimpin. Jika, Rasulullah rela berlapar dahaga demi kemerdekaan dan kedaulatan umat, mengapa pemimpin sekarang malah menyiapkan sindikasi, nepotisme, dan kolusi untuk merebut jabatan dunia. Semoga bangsa Indonesia selalu dalam Pertolongan dan Perlindungan Allah SWT. Wallahu a’lam bish-showab. Merdeka !!! (*)
*) Penulis HS Makin Rahmat, Santri Pinggiran, Wartawan UKW Utama dan Ketua SMSI Jatim