Sutra ini, menceritakan riwayat Buddha mulai dari sebelum lahir hingga mencapai Penerangan Sempurna dan memutar Roda Dharma untuk pertama kalinya. Dalam Sutra Lalitawsitara itu pula digambarkan kualitas-kualitas Buddha kepada Bodhisatwa Maitreya, bahwa, “Buddha memiliki kualitas layaknya seorang anggota keluarga kerajaan karena Buddha adalah sang pembawa payung permata.”
Penggunaan kata Payung, kata Supriyadi, juga dapat ditemukan dalam Kitab Gandawyuha Sutra. Sutra ini mengisahkan Sudhana yang berkelana demi belajar kepada lebih dari 50 orang guru untuk mengejar pencapaian Pencerahan Sempurna. Dalam kisah tersebut, Sudhana digambarkan sebagai seorang pemuda yang selalu memiliki sebuah payung yang melindunginya. Gambaran payung tersebut terukir dalam 332 keping relief di Candi Borobudur.
Selain tertuang dalam Kitab Lalitawistara Sutra dan Gandawyuha Sutra, kata Chatra (payung) juga ditemukan dalam kisah-kisah Jataka, Awadana dan Karmawibhangga Sutra. Kisah-kisah Jataka dan Awadana terukir dalam 720 keping relief di Candi Borobudur.
Payung tersebut tergambar di mana para brahmin dilindungi oleh payung di atas kepalanya. Selanjutnya di dalam Karmawibhangga Sutra yang menghiasi 160 keping relief di kaki Candi Borobudur, diajarkan bahwa salah satu cara menghimpun kebajikan yang luar biasa adalah dengan mempersembahkan payung kepada objek-objek suci.
Melalui persembahan payung akan membawa hasil dapat terlahir sebagai orang yang berwibawa, berlimpah kekayaan, bisa terus bersama-sama dengan para Buddha dan Bodhisatwa, bahkan hingga bisa membawa pada pencapaian pembebasan.
“Karena itulah menjadi sangat penting dalam memaknai Chatra tidak hanya dari disiplin Arkeologi semata, namun juga dalam perspektif spiritualitas agama Buddha. Chatra atau payung memiliki makna filosofi sebagai objek persembahan surgawi dan sebagai sebagai pelindunga,” tegas Supriyadi.
“Melalui ruang interpretasi keagamaan (Buddha), dapat ditemukan kesatuan pandangan bahwa kepingan batu-batu secara nyata ada dan ditemukan di Candi Borobudur sebagai payung, Chatra pernah terpasang ditempat yang paling mulia pada masanya. Sehingga keputusan untuk memasang kembali Chatra Candi Borobudur merupakan upaya dalam menyempurnakan Candi Borobudur sebagai Pusat Kunjungan Wisata Religi Agama Buddha Indonesia dan Dunia,” sambungnya.
Sejalan dengan itu, kata Supriyadi, sesuai arahan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha Kemenag merumuskan konsep Kunjungan Wisata Religi Agama Buddha di Candi Borobudur dengan pendekatan Nilai Spiritual Kebudayaan dengan memperhatikan kepentingan pelestarian candi sebagai world heritage (cagar budaya) sekaligus sebagai bangunan keagamaan yang suci.
Dengan demikian kunjungan wisata religi agama dapat menghargai, mempelajari dan mendalami pengertian nilai ajaran dan fungsi edukasi, spiritual, dan religius dari Candi Borobudur sebagai rekaman Buddhadharma Nusantara.
“Melalui kunjungan wisata religi agama itu pula akan dapat dibangun perilaku saling mengapresiasi, menghormati, dan memperlakukan Candi Borobudur sebagai Living Spiritual Monumen dan sebagai sarana merit making. Dengan demikian dapat terbentuk sarana pelestarian, pemanfaatan, dan pengembangan Candi Borobudur yang lebih langgeng,” tandasnya. (*)