Idul Fitri 1444 H, Lontong, Lepet, dan Ketupat

Kajian Ramadhan ini Diasuh oleh Univ. Darul Ulum Jombang hari ke 30

Idul Fitri 1444 H, Lontong, Lepet, dan Ketupat
H. Muhtadi

Oleh Muhtadi – Dosen Univ. Darul Ulum Jombang

Ada istilah bahasa jawa “ono poso, ono riyoyo” (ada puasa ada hari raya), atau ada pepatah bahasa arab “Man yazro’ yahshad”(barang siapa menanam, maka ia akan memetik buahnya). Setelah berpuasa satu bulan romadhan dengan sungguh sungguh, menahan diri dari makan dan minum, menahan hawa nafsu hayawaniyah dan syaithaniyah, serta menghiasinya dengan amalan-amalan sunnah seperti, shalat tarawih, tadarus Al-Quran, shalat malam, sedekah dan yang lainnya, maka akan memperoleh pengampunan dosa yang lampau dari Allah SWT, dan mendapat predikat muttaqin (orang-orang yang bertakwa).

Istilah-istilah tersebut hampir ada kesamaan dengan aktifitas para pedagang lontong, lepet, dan ketupat di desa Ngembeh Ngumpul Jogoroto Jombang, yang sekitar 30 pesen penduduknya membuat dan berjualan itu. Ada yang khusus bekerja mencari dan menjual daun pisang untuk bungkus lontong, ada pula yang khusus mencari janur untuk bungkus lepet dan ketupat. Ada pula yang cumak buruh membuat kelontongan lontong yang terbuat dari daun pisang sobo atau kletuk, memang dua macam daun pisang itulah yang cocok untuk lontong. Ada yang lain khusus menjual bitingnya untuk menutub dua ujung lontong, atau ada yang khusus mengisikan lepet serta mengikatnya saja, dan atau mengisikan ketupat, dengan begitu, mereka akan memperoleh upah tertentu sesuai kuwantitas barang yang dihasilakan.

Dan yang pokok adalah, memasak lontong, lepet, dan ketupat yang sudah diisikan oleh pelanggannya masing-masing atau yang biasa disebut juragan lontong, lepet dan ketupat. Mereka mempunyai pasar masing-masing untuk menjualnya, mulai jarak terdekat di wilayah jombang, seperti pasar Peterongan, Mojoagung , dan Ploso. Jarak yang sedang seperti Mojokerto, Krian, Kertosono, Nganjuk, dan jarak tempuh yang lumayan jauh seperti Gresik, Surabaya, Madura, Kediri, dan lainnya.

Begitulah aktifitas se hari-hari para pedagang lontong, lepet, dan ketupat di desa ini, penghasilan mereka dari usaha tersebut lumayan menjajikan (terutama di hari Idul Fitri), bisa untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Bahkan dari hasil usahanya ini ada yang mampu membuat rumah, beli motor, beli tossa, dan ada yang bisa beli mobil. Tempo dulu lepet dan ketupat itu hanya ada saat lebaran ketupat saja, yaitu 7 hari bulan syawal, berbeda dengan sekarang yang setiap hari sepanjang bulan selalu ada yang membuat dan menjualnya, terutama di desa Ngembeh, Ngumpul, Jogoroto, Jombang ini.
Ada yang berbeda saat bulan suci ramadhan tiba, mereka libur total mulai awal ramadhan hingga menjelang lebaran kurang 2 hari (H-2), sebab daya pembelinya jugak sangat menurun secara drastis. Kondisi demikian sudah dipahami sebelumnya, sehingga mereka merasa tenang walaupun tidak ada penghasilan yang rutin sepeti biasanya, karena mereka sudah menyisihkan sebagian rizkinya untuk masa satu bulan tidak bekerja ini. Sebagian dari mereka menikmati ibadah ramadhan, mengikuti pengajian menjelang berbuka puasa di masjid, mushalla secara istiqomah, dan yang lain mengisinya dengan tadarus Al-Qu’an, dan ada yang ikut qiyamullail (shalat malam).

Begitu Idul Fitri akan tiba (H-2), mereka mulai cancut taliwondo setelah satu bulan off tidak bekerja sama sekali, kini saatnya panen menurut istilahnya sang petani, ono poso ono riyoyo (ada puasa ada lebaran). Semuanya menjadi naik mulai dari harga barang, kebutuhan masyarakat pun semakin meningkat secara siqnifikan. Lepet yang semula harganya 700 rupiah/biji, bisa meningkat 2 kali lipat lebih, yang semula 1000 rupiah/biji, bisa menjadi 2000/2500 bahkan bisa 3000./ perbiji. Yang semula cukup ke pasar membawa motor, kini ada yang membawa gerobag yang ditarek motor, ada yang membawa tossa, atau membawa mobil, demi mencukupi kebutuhan masyarakat yang semakin banyak, dan yang biasanya cukup satu orang, kini ada yang dibantu oleh anak, keponakan, atau istrinya, untuk melayani pembeli yang antri.