Balancing Kesejahteraan Dengan Takjil
Dalam ramadan tradisi yang sudah berlaku di Indonesia dan negara muslim dunia adalah memberikan takjil (untuk berbuka puasa). Syaikh Said bin Muhammad Ba Ali Ba Isyan dalam bukunya “Syarh al-Muqaddimah al-Hadramiyah” yang dinamai “Busyra al-Karim bisyarh Masail al-Ta’lim”, halaman 564 terkait keistimewaan dan keutamaan orang yang menyediakan takjil dan makanan untuk buka puasa sang pemberi takjil akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang berpuasa, didasarkan hadits Rasulullah SAW. Beliau bersabda, ‘Siapa yang berbagi takjil kepada orang yang berpuasa, maka ia mendapatkan pahala puasa tanpa mengurangi pahala puasa orang yang ditraktir takjil.’ (HR. Ahmad: 4/114, dan disahihkan oleh Tumudzi: 807)
Lebih lanjut, Imam Izzuddin bin Abdis Salam dalam bukunya Maqasid al-Shaum halaman 18 menyebutkan bahwa sungguh kemuliaan yang sangat luar biasa bagi orang yang memberikan takjil dan makanan kepada orang lain untuk buka puasa. Beliau juga menyebutkan bahwa Rasulullah saw bersabda:“Maka barangsiapa memberi makanan pada 36 orang yang berpuasa setiap Tahun, maka seakan-akan ia puasa satu Tahun (karena kebaikan dilipat gandakan pahalanya sepuluh kali).
Dan barang siapa memperbanyak memberi takjil atau makan dan minum orang-orang yang berpuasa atas dasar niat ini, Allah mencatat baginya puasa berabad-abad dan bertahun-tahun.”
Penjelasan diatas dapat kita simpulkan bahwasanya kegiatan membagikan takjil terdapat nilai sosial, solidaritas, toleransi kepada siapapun itu, rasa kepedulian yang tinggi dan banyak hal baik lainnya dan ini akan menciptakan kesimbangan dan menciptakan kesejahteraan pangan (ekonomi) dalam ramadhan.
Balancing Kesejahteraan Dengan Membangunkan Sahur.
Membangunkan sahur dengan segala sebutannya; obrog-obrog (orang Jabar), lalaran (orang jawa), dengan berbagai alat pendukungnya merupakan ritual sejak di zaman rasulullah dan merupakan tidakan sosial untuk mengingatkan akan adanya puasa dan tidak “terasa” merupkan perlakuan “rasa” keamanan untuk warga yang dilintasi masyakarat lalaran.
Dulunya kegiatan ini dilakukan oleh pemuka-pemuka agama dengan santrinya dengan seruan “sopan” dan menyejukkan. Pada alih generasi “lalaran “ ini dilakukan dengan menggunakan petasan, musik “aliran cadas” dan kurang mempunyai etika sosial dan dilakukan oleh masyarakat umum yang tidak jelas tujuannya. Maka dalam tahun 2012 lalaran ini di larang secara resmi dengan Pasal 503 angka 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan ancaman kurungan pidana paling lama tiga hari atau denda hingga Rp. 225 ribu.
Balance Of The Welfare at Ramadan (neraca keseimbangan kesejahteraan di ramadhan) dapat tercipta apabila ada rasa taqwa, rasa aman dari kekurangan ekonomi dan rasa aman dari gangguan sosial. (*)
Wallahualam bishowab. semoga bermanfaat