“Membangun Surabaya ini harus melibatkan hati nurani masyarakat. Misal ada perusahaan yang memiliki kelebihan harta, itu mereka bisa menjadi orang tua asuh, untuk penanganan gizi buruk atau bayi stunting,” jelasnya.
Tidak hanya soal bayi stunting, Eri menyebut, penanganan terhadap anak putus sekolah, gizi buruk, atau risiko ibu hamil, juga dapat menerapkan pola gotong royong. Maka dari itu, setiap Camat dan Lurah juga harus tahu berapa jumlah warga di masing-masing wilayahnya yang perlu mendapatkan intervensi.
“Makanya saya ingin setiap camat dan lurah di itu tahu berapa jumlah warganya yang stunting, risiko ibu hamil, anak putus sekolah, atau gizi buruk. Sentuh hati masyarakat yang mampu agar juga mau membantu,” pintanya.
Setidaknya ada beberapa kecamatan di Surabaya yang sudah menerapkan pola gotong royong dalam menangani bayi stunting atau gizi buruk. Di antaranya adalah Kecamatan Asemrowo dengan menggandeng stakeholder atau perusahaan setempat untuk menjadi anak asuh bayi stunting. Juga, di wilayah Kecamatan Semampir dengan menerapkan program bantingan.
“Ini bisa dicontoh oleh camat-camat yang lainnya. Inilah yang dinamakan guyub-rukun membangun Surabaya dengan gotong royong masyarakat. Karena saya ingin mengembalikan rasa gotong royong wong Suroboyo (orang Surabaya),” harapnya. (*)