Ia mencontohkan, pada mulanya kalau mengundang acara buka bersama, tamu harus dijemput satu per satu menggunakan mobil. Sekarang tidak perlu dijemput karena mereka datang dengan membawa mobil sendiri-sendiri. Sampai-sampai halaman tempat acara penuh mobil.
“Dulu sulit mencari guru besar dari NU. Tapi sekarang mayoritas guru besar di Indonesia ini warga nahdliyin (umat NU). Para kiai sekarang mobilnya bagus-bagus. Jadi tidak kelihatan susah,” tegasnya. Ia mencontohkan Ketua PWNU Jatim KH Marzuki Mustamar yang menggunakan mobil pribadi sedan mercy terbaru warna putih.
Karena tuntutan berubah merupakan keharusan, Mukri mengingatkan eksistensi pondok pesantren salafiyah akan ditinggal umat jika tidak melakukan perubahan.
Pondok pesantren salafiyah adalah khazanah NU. Pondok ini mempertahakan sistem lama yaitu hanya mengajarkan kitab kuning (kitab klasik standar pesantren seperti Kitab Sulam Sufinah, Tafsir Jajalen, Fathul Qarib, Ta’lim al Mutallim, Taqrib). Metode belajarnya menggunakan sistem sorogan (individua) dan bandongan atau pengajian (kolektif). Tidak memberikan ijazah seperti sekolah negeri. Ijazah bagi murid pesantren salaf adalah doa gurunya.
Sejak dekade 1970-an terjadi perubahan eksistensi pesantren salaf. Mereka menggabungkan sistem salaf dengan sistem sekolah modern. Maka di dalam pondok ada sekolah. Misalnya yang dilakukan pesantren besar seperti Pesantren Salafiyah Syafiiyah Tebuireng yang didirikan KH Hasyim Asyari, Pondok Bahrul Ulum Tambak Beras yang didirikan KH Wahab Hasbullah, Pondok Pesantren Mambaul Ma’arif yang diasuh KH Bisyri Sansuri.
Saat ini masih banyak pesantren yang mempertahankan diri sebagai pesantren salaf. Misalnya pondok pesantren Sidogiri, Pasuruan yang merupakan pesantren tua dan besar. Tetap tidak mau mengadobsi sistem sekolah. Menjelang kelulusan, santrinya dibekali dengan pendidikan ketrampilan yang sesuai dengan passion santri dengan maksud untuk bekerja setelah lulus. Demikian pula Pondok Pesantren Klencongan di Caruban, pesantren miliki Kiai Ahmad Sanusi di Jember.(ANO)