Cahaya Tuhan
Nuhfil melanjutkan, pola Barat ini kemudian mendominasi pembanguan fisik dan ekonomi di Indonesia. Pendirian industri, pembangunan infrastruktur semata mengejar efisiensi, efektivitas dan profitabilitas meski mengabaikan etika lingkungan. Mengabaikan kepentingan strategis generasi. Hal demikian sudah berlangsung cukup lama.
Dampaknya, berbiaklah rusaknya keseimbangan dan keselaran kehidupan manusia dengan alam. Alam rusak memantik terjadinya bencana. Terbuangnya secara mubazir sumber daya ekonomi dari alam.
Yang sering tidak disadari bahwa ketika manusia dan alam tidak lagi selaras dan serasi, secara spiritual terjadi kemerosotan nilai kemanusiaan.
Kenapa? “Tuhan itu mencahayai bumi, langit dan seluruh isinya. Maka ketika hati tidak lagi menjadi bagian integral dari alam secara intens, maka cahaya Tuhan tidak menembus hati manusia. Hati manusia yang tidak mendapat cahaya Tuhan akan kian rakus, aniaya dan merusak,” katanya.
Nuhfil menegaskan, langkah Muhadjir tanam 10 juta pohon ini hendaknya tidak cuma dilihat secara harfiah 10 juta pohon. Tetapi harus dilihat makna di baliknya. Ini menjadi entry point penting menyelamatkan masa depan generasi sebagai pewaris Indonesia. Menjadi edukasi nonformal untuk seluruh anak bangsa.
“Sekaligus memberi kontribusi terhadap penyelamatan dunia. Kita makin sadar bahwa kita adalah bagian dari masyarakat global,” katanya.
Untuk itu, aksi ini harus mendapat dukungan seluruh anak bangsa. Seluruh jajaran pemerintah dengan berani menanggalkan egosentrisme sektoral dan departemental. “Harus dilakukan secara kontinyu dan berkelanjutan. Sangat mungkin hasilnya baru akan bisa dirasakan lebih 10 tahun mendatang,” kata Nuhfil mengunci percakapan. (ANO)