MALANG (WartaTransparansi.com) – Di balik aksi tanam 10 juta pohon pada dasarnya tersimpan makna yang luar biasa. Yaitu, meneguhkan kembali pintalan tiga jalur benang merah dalam pembangunan manusia Indonesia.
“Untuk itu, aksi ini harus mendatangkan efek bola salju sehingga menjadi gerakan seluruh anak bangsa secara massif, kontinyu dan berkelanjutan. Aksi ini wujud riil gerakan revolusi mental,” kata kata Prof Dr Nuhfil Hanani, mantan Rektor dan Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya (UB) Malang, di Malang, Senin (30/5/2022).
Menuru Nuhfil, tiga jalur benang merah itu adalah terbinanya keselarasan dan keserasian hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama manusia, dan manusia dengan alam. Tiga jalur ini saling berkelindan dan berintegrasi.
Aksi penanaman 10 juta pohon, di-launching Menteri Koordinator bidang Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy, hari Selasa (24/5/2022) di Bali. Aksi ini merupakan agenda Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM). Sekaligus bentuk komitmen Indonesia mendukung The Global Platform for Disaster Risk Reduction (GPDRR) 2022.
Aksi ini merupakan kerja kolaborasi Kemenko PMK dengan lintas kementerian. Melibatkan kalangan perguruan tinggi, sekolah, organisasi sosial kemasyarakatan dan pelbagai elemen masyarakat yang lain. Penananam akan dilakukan di 34 provinsi seluruh Indonesia sepanjang tahun 2022 – 2023. Menegaskan pesan Presiden Jokowi, Muhadjir wanti-wanti agar aksi ini tidak berhenti menjadi jargon belaka.
Pola tiga jalur benang merah ini pada dasarnya merupakan kekayaan budaya agung Indonesia. Leluhur telah mempraktikan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya dalam konteks hubungan manusia dengan lingkungan. Dicerminkan pada budi daya pertanian, penataan lingkungan kehidupan (habitat), pemanfaatan alam sebagai sumber ekonomi dan sebagainya.
Namun, seiring dengan masuknya sistem dari luar, khususnya yang berlatar belakang Barat, keseimbangan pintalan tiga jalur benang merah ini jadi terkoyak. Kenapa? Barat itu menggunakan dasar hak individual dan kebebasan. Maka dalam berhubungan dengan alam, cenderung sekehendaknya, semena-mena dan eksploitatif.
“Jadi, kerusakan alam yang salah satu dampaknya berupa pemanasan global ini sebenarnya juga bermula dari Barat. Tapi kini mereka yang lantang berteriak-teriak, terkadang menyalahkan negara lain,” katanya.