Menjemput Lailatul Qadar di Luar Bulan Ramadan

Menjemput Lailatul Qadar di Luar Bulan Ramadan
H.S Makin Rahmat

Membiarkan, hamba Allah dalam keterpurukan ekonomi, kekurangan, kelaparan dan kehausan serta ketakutan.
Maka, bagi penulis, hamba Allah SWT yang paripurna pasca Ramadan, yaitu menjadikan sebelas bulan seperti Ramadan. Artinya, giat ibadah dalam kehidupan sehari-hari belum pudar. Siapa saja mereka? tentu manusia yang beriman, punya kepedulian sosial luar biasa dalam kondisi lapang atau sempit.

Berikutnya, hamba yang memiliki kemampuan mengendalikan diri, tidak terbawa hawa nafsu. Dan, kemampuan menjaga marwa, tanpa merasa dirinya paling benar. Ada jiwa pemaaf dalam kalbu, raga dan lisannya.
Kalau prilakunya sudah menyatu, maka siapa pun tidak merasa keberatan berbagi makanan, menyebarkan informasi membangun penuh kesantunan tanpa menyakiti dan berbicara dengan penuh hikmah serta kedamaian atau diam dalam kepatuhan.

Pada akhirnya, tujuan kewajiban puasa di bulan Ramadan yang hanya dikhususkan bagi umat Baginda Rasulullah SAW, mampu direnungi dan ditelaah dengan keyakinan, pikiran, dan amalan nyata, bukan hanya bisa mengkritik, belum mampu mendarmabaktikan secara khusnudlon (berprasangka baik).

Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS (Quran Surah) al-Baqarah ayat 183; “Hai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan kepada kamu untuk berpuasa (Ramadan) sebagaimana diwajibkan atas umat sebelum kamu, supaya kamu bertakwa.”

Ada nilai spirituil yang terus digali dan dipelajari dalam konteks menghamba kepada Allah dalam kaitan hubungan dengan Allah (Hablum minallah) dan hubungan dengan manusia (Hablum minannas) serta makhluk sebagai pemimpin (khalifah) di bumi. Inilah rentetan panjang yang memerlukan kajian mendalam dalam hakekat untuk bisa mensyukuri atas nikmat Allah dalam kaitan amaliyah berpuasa.

Puncak keyakinan keimanan merupakan wujud mutlak yang harus ditancapkan dalam hati tiap hamba Allah yang beriman, bahwa tidak ada yang bakal sia-sia atau mengecewakan ketika kita menjalankan perintah Allah SWT, termasuk berpuasa.

Lex spesialis dari puasa Ramadan, bukan sekedar isapan jempol belaka. Karena Sang Khalik, sudah memberikan pilihan yang sangat fair, sesuai QS Al-Baqarah 184; “… Maka barang siapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (musafir) lalu ia berbuka, maka wajiblah baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari lain. Dan, wajib bagi orang-orang yang menjalankannya (karena usia, sakit permanen, jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, yaitu memberikan makan seorang miskin.

Barang siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih bagimu, jika kamu mengetahui.”
Puasa benar-benar mengajari kita untuk sehat lahir-batin, sebagai cuplikan firman Allah SWt dalam hadits qudsi riwayat Bukhari RA: “Setiap amalan kebaikan yang dilakukan oleh manusia akan dilipatgandakan sepuluh kebaikan yang semisal hingga tujuh ratus kali lipat. Allah SWT berfirman: “Kecuali amalan puasa! Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya. Disebabkan dia telah meninggalkan syahwat dan makanan karena-Ku. Bagi orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kebahagian, yaitu kebahagian saat berbuka dan kebahagian ketika berjumpa dengan Rabbnya. Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau minyak Kasturi.”

Andalah yang bisa meraba dan merasakan, apakah di bulan Ramadan 1443, mendapatkan Lailatul Qadar. Sebaliknya, apakah di penghujung akhir Ramadan sibuk dengan urusan duniawi. Semoga tetap semangat mengabdi. Wallahu a’lam bish-showab. (*)