Oleh : HS. Makin Rahmat – Pembimbing Umroh & Haji
TIDAK seperti bulan suci Ramadan sebelumnya, pada Ramadan 1443 ini rasanya begitu luar biasa. Penulis berinisiatif melaksanakan puasa dengan sepenuh hati. Bukan sekedar senang dan mendapatkan reward jasad diharamkan masuk neraka, namun berusaha mencari kemuliaan yang lain. Bismillah!!!
Ternyata, Allah memberikan ujian. Kondisi fisik kurang stabil.
Tekanan darah systhol (sys) pernah sampai 245 dan diasthol (dia) rata-rata 130. Saat periksa ke dokter Johannes, spesialis penyakit dalam, sinyal lampu merah, harus istirahat. Uniknya, hasil lab lengkap termasuk thoraq, semuanya baik kecuali di atas ambang, yaitu kolesterol dan diabet. Itu pun bisa dimaklumi di usia hampir 54 tahun.
Oke, sakit atau dalam proses pengobatan, penulis tetap menjalani ibadah puasa. Alhamdulillah, masih bisa tarawih, qiyamul lail, sahur, dan menjalani aktifitas di siang hari dengan baca alquran sehari 2-3 juz. Semua normal-normal saja.
Memang unik, di saat tensi tinggi reaksi di badan tidak ada kendala. Katanya mumet, sering pusing seperti vertigo atau organ tubuh ada yang kesemutan, biasa-biasa saja. Tapi, setelah fase ke dua Ramadan, Alhamdulillah, tekanan darah stabil, sys 120-130 diasthol 84-93. Normal.
Saya mulai sedikit manaikkan target, bisa lebih ajek (istiqomah) dalam beramal walau kondisi lagi kembang-kempis. Semoga bisa merasakan nikmatnya Lailatul Qadar (malam yang lebih mulia dari seribu bulan). Tentu nikmat luar biasa mampu dipertemukan dengan Laitaltul Qadar.
Lantas muncul pertanyaan menggelitik, bagaimana kompetensi dari hamba Allah SWT yang memperoleh Lailatul Qadar? Bila membaca literatur dan tanda-tanda turunnya Lailatul Qadar, bisa ditelisik, hawa yang sejuk, tidak panas tak dingin, dan bulan memancarkan sinar keemasan menyaksikan para Malaikat turun ke bumi. Wow… Begitu dahsyat.
Itulah hak prerogatif Allah SWT diberikan kepada hamba pilihan, semalam bisa setara dengan 83,3 tahun. Yakin, akan memberikan efek positif. Bukan sekedar persoalan harta melimpah, kedudukan strategis dan punya bargaining di masyarakat.
Bagi penulis yang sering Silaturahmi tombo ati ke ulama salaf, kiai dan para Gus, teringat dengan kisah hamba Allah SWT yang tidak jadi berangkat haji, tapi catatan di Lauhul Mahfudz mendapatkan gelar haji Mabrur Sepanjang Hayat. Setelah ditelisik, ternyata hamba yang mengumpulkan uang sen demi sen, menjadi modal haji terhalang memenuhi panggilan Allah dan nabiyullah Ibrahim Khalilullah AS, demi memberikan modal dan nafkah bagi anak yatim piatu dan dhuafa, untuk menikmati hidup layak.
Nah, dari pelajaran hikmah tersebut, al faqir berpikir praktis bahwa seseorang mendapatkan limpahan Rahmat, maghfirah dan Inayah Sang Khaliq selama Ramadan, termasuk di dalamnya bertemu dengan Lailatul Qadar adalah sosok hambaNya beruntung, bejo. Selalu merasa punya peluang dan semangat untuk memberikan ke manfaatan di luar Ramadan. Wujudiyah, Islam yang Rahmatan lil ‘Alamiin.
Apa artinya, selama Ramadan bisa melaksanakan tarawih, qiyamul lail, tadarus Al-Qur’an, dan amalan kebajikan lain, ternyata usai Ramadan kembali normal, belum ada peningkatan keimanan, salat hanya gelondong semprong, belum mampu merenungi makna zakat dan puasa.