“Dengan program rutilahu apabila tempat tinggalnya tidak memenuhi syarat. Kemudian melakukan pemberdayaan untuk mereka agar bisa kembali mandiri setelah menyelesaikan pengobatan. Lengkap dari hulu ke hilir,” jelasnya.
Bahkan, pemkot melalui Satgas juga memfasilitasi penjemputan ke rumah pasien apabila tidak memiliki kendaraan. Termasuk di dalamnya melakukan treatment berupa pendampingan secara psikis, emosional, penguatan, hingga pemenuhan kebutuhan pokok dan yang dibutuhkan pasien selama menjalani pengobatan.
“Kita juga berikan pemberdayaan apabila mereka kehilangan pekerjaan. Sehingga setelah mereka sembuh pun tetap bisa hidup mandiri,” tukasnya.
Selain itu, lanjutnya, 63 Puskesmas di Surabaya juga sudah bisa melakukan skrining TB. Jika ditemukan ada warga yang sakit, tenaga kesehatan di Puskesmas juga bisa mengobati.
“Kita juga sudah kerja sama dengan dokter praktik mandiri, dengan klinik swasta, dan sebagainya. Kalau harus dirujuk ke rumah sakit, kita sudah mempunyai 59 rumah sakit rujukan. Namun sesuai dengan kapasitas rumah sakitnya,” kata Nanik.
Ia juga menyatakan, meski sejumlah rumah sakit di Surabaya belum bisa mengobati TB, namun tetap bisa melakukan skrining dan pemeriksaan terhadap suspek yang ditemukan. Nah, ketika ditemukan pasien positif TB, maka selanjutnya dirujuk ke pelayanan fasilitas kesehatan yang memberikan pengobatan.
“Pengobatan bisa diakses di semua puskesmas, 63 puskesmas secara gratis. Apabila ada kondisi khusus atau faktor pemberat, maka bisa dirujuk ke rumah sakit sebagai layanan lanjutan. Tapi jika dalam kondisi yang stabil dan aman semuanya dilakukan di puskesmas,” terangnya.
Hanya, Nanik berharap agar masyarakat bisa lebih waspada dan mengetahui gejala-gejala penyakit TB. Dengan begitu, ketika mempunyai gejala-gejala yang menjurus ke TB bisa segera mencari pertolongan.
“Jadi masyarakat jangan sampai sembunyi, takut, dan sebagainya. Karena penyakit itu bisa disembuhkan, sudah ada obatnya dan bisa sembuh total,” tandasnya. **