Oleh: Syafrudin Budiman SIP
Dalam fakta kasus persidangan dugaan terorisme kepada terdakwa Munarman SH, memiliki kelemahan hukum. Saksi primer atau utama sudah meninggal atau tidak ada, yang katanya terpapar dan terdoktrin akibat pidato atau dugaan hasutan dari Munarman SH di Makassar Sulawesi Selatan.
Dalam hukum positif keluarga atau teman tidak bisa menjadi saksi utama dan mereka hanyalah saksi sekunder saja. Tentu dalam hal ini jelas bahwa saksi sekunder, atau saksi samping sangatlah tidak valid atau akurasinya lemah.
Dalam hukum peradilan tidak bisa hanya berdasar katanya-katanya. Harus dijelaskan kapan, dimana, siapa, bagaimana, kenapa dan berupa apa tindakannya.
Dalam sidang kasus terduga teroris Munarman SH, terungkap di pengadilan bahwa yang hadir saat terdakwa Munarman SH, melakukan hasutan dihadiri banyak orang. Tentu saksi-saksi atau orang-orang yang hadir banyak itu, bisa juga jadi tersangka teroris sama seperti Munarman SH, karena mengamini pertemuan tersebut dan mendukung saksi utama atau pelaku teroris korban dugaan hasutan (sudah meninggal/tidak bisa hadir).
Kita tegaskan, dalam hal ini karena saksi utama sudah meninggal atau sudah tidak ada (saksi terhasut/saksi pelaku teroris). Fakta ini berdasarkan saksi-saksi skunder yang hadir dikejadian di Makassar.
Persoalannya, iya kalau Munarman benar menyuruh para teroris ke Syuriah atau kalau Munarman benar-benar terlibat. Namun kalau tidak, hukum sudah tidak berbuat adil, karena saksi utama pelaku tidak ada atau sudah meninggal. Padahal Hukum positif mengatur kepastian dan keadaan yang nyata dengan saksi dan barang bukti.
Jadi dugaan terorisme kepada Munarman bisa gugur secara hukum, karena buktinya tidak kuat. Karena saksinya lemah atau hanya saksi sekunder semata.
*Bolehkan Noel Membela Munarman SH?*
Karena itu, kata Immanuel Ebenezer atau Noel kita tidak bisa menghukum orang dengan stigma-stigma salah. Dimana pada akhirnya menghukum seseorang hanya berdasar opini, narasi dan katanya-katanya.