Polemik Wayang: Dari UKB, Gus Dur sampai Muhadjir

Polemik Wayang: Dari UKB, Gus Dur sampai Muhadjir
Muhadjir Effendy sedang merapikan wayang buatan ayahandanya, Guru Soeroya. (foto/pribadi)

Dalam setiap pegelaran, Guru Soeroya membuat satu sesi berisi “pengajian”. Biasanya mengurangi waktu perang kembang. Misalnya seorang pandita memberi wejangan kepada satria atau cantrik. Bisa Semar kepada anak-anaknya.

Konten “pengajian” biasanya pesan-pesan moral, amar ma’ruf nahi mungkar. Di antara sumber yang dipergunakan adalah kitab Serat Ambya, Wirid Hidayat Jati, Serat Kalatidha karya Pujangga Agung Tanah Jawa Ronggowarsito dan lain-lain. Guru Soeroya mengidola Ronggowarsito sampai dia menyandang nama saat tua, Suryowarsito.

Keberanian melakukan inovasi menjadikan dia menjadi dalang eksklusif. Termasuk dalang top dan mahal di jamannya. Fansnya tersebar se-antero Jatim, khususnya bagian barat. Banyak dalang yang mengikuti langkah Guru Soeroya yang menyelipkan “pengajian”. Misalnya Ki Ponijan Dipotaruno dari Padas, Ngawi.

Prof Malik Fadjar

Guru Soeroya tidak hanya mendalang, dia juga piawi membuat wayang kulit. Sedikitnya ada dua set (kotak) wayang kulit komplit. Yang satu kotak dihibahkan ke UMM untuk dilestarikan.

Sejak jaman Rektor Prof Malik Fadjar, UMM secara rutin menggelar wayang kulit secara rutin. Kebetulan pula Malik Fadjar juga penggemar wayang kulit. Di dinding rumahnya dihiasi wayang kulit. Di dalam keluarganya, Malik dijuluki tokoh wayang Bima atau Werkudara karena posturnya semasa muda tinggi besar gagah. Apalagi dia senang menggendong ibunya seperti Bima menggendong ibunya, Kunti.

Jadi sebenarnya dimensi kontroversial wayang kulit itu sudah ada sejak dulu kala. Tapi masyarakat Jawa sangat cerdas dan bijaksana dalam meredusir kontroversi atau konflik. Dilandasi tanggung jawab menjaga keselerasan, keseimbangan dan keserasian. Harmonisasi sosial. Kena ikannya tanpa memperkeruh airnya.

Tidak semua persoalan diselesaikan dengan pendekatan ilmiah. Kajian akal mulu. Adu argumen, berdebat sampai mata mendelik-delik dan mulut berbusa-busa. Menang-menangan. Adu viral. Tapi sangat mengutamakan dengan pendekatan batin. Olah rasa.

Masyarakat Jawa sangat mafhum betapa sangat pentingnya menjaga kejernihan mata batin. Sebab di akhir jaman, manusia akan cenderung hanya menggunakan mata eksternal, doktrin ilmiah. Tetapi akan mengabaikan mata batin.

Fenomena itu disebut oleh Ronggowarsito sebagai jaman Kalatidha atau jaman gelap. Bukan jagat ini gelap tidak ada listrik atau lampu penerangan tetapi jagat kecil manusia (hati) ini yang gelap.

“Dan sungguh, akan Kami isi neraka jahanam dengan banyak dari kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka memiliki mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kebesaran Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah.” (Quran: Al Araf 179).

“Dan barang siapa buta (hatinya) di dunia ini, maka di akhirat dia akan buta dan tersesat jauh dari jalan (yang benar).” (Quran: Al Isra’ 72).

Astaghfirullah. Rabbi a’lam (Tuhan Maha Tahu).

Anwar Hudijono, Tenaga Ahli Gerakan Nasional Revolusi Mental Kemenko Pemberdayaan Masyarakat dan Kebudayaan.