Oleh : Djoko Tetuko
Seperti tergambar dalam sebuah orkestra ketika satu biola menari-nari di atas senar … semua seperti sama berirama … bertamasya … beraroma …
Orkestra itulah gotong royong dalam musik … sebuah pencitraan kebudayaan amat terhormat karena suasana begitu nikmat
Seperti peperangan akbar … pemberani dan pengatur strategi sama-sama tersembunyi dalam gegap gempita ratusan bahkan jutaan pejuang dengan niat, keinginan, dan harapan sama … merdeka … merdeka … merdeka
Peperangan akbar pada bulan bahasa Oktober 1945 sebuah potret peperangan gotong royong, bahu membahu saling membantu dan merasa perlu membunuh atau terbunuh … Semua berjalan tanpa beban walau sudah menyerahkan jiwa dan raga bahkan tahta kepada negara karena semata-mata menjaga marwah bahasa
Seperti pergelaran pengajian di mushola dan langgar sederhana, malaikat kecil melantunkan ayat suci dengan begitu terpatri dalam hati … suci sesuci ayat suci itu sendiri … ikhlas belajar mengaji seperti setiap ayat melayang-layang meliuk-meliuk hilang tanpa bekas walau sudah lunas
Ikhlas mengaji hanya ada pada kisah para sufi dengan aroma Ilahi Robbi selalu memberikan kabar tentang hati, bukan meracuni dengan iri dan dengki … ikhlas mengaji keikhlasan seperti mentari selalu bersinar di pagi hari tanpa pernah ingkar janji dan rembulan selalu memancarkan sinar terang di malam hari tanpa pernah mendapat sepersen pun uang kontrak juga uang panjar, apalagi uang janji menjaga negeri … semua berjalan mengalir di antara langit dan bumi beserta isinya dengan penuh keabadian selamanya sampai waktunya tiba.
Mohammad Tabrani Soerjowitjirto sebuah nama dalam kisah perjuangan anak negeri. Tabrani (Tahu-Tahu Berani) menuntun hati, mematri ibu pertiwi dalam lagu untuk anak negeri, menjelmakan bahasa persatuan anak bangsa dengan bahasa hati nurani, bahasa Indonesia
Lagu Tabrani (Tahu-Tahu Berani) dengan memukul gendang dan memetik gitar, meniup seruling mengabadikan dalam irama persatuan pada Kongres Pemuda I tahun 1926. “Bahasa Persatuan … Bahasa Indonesia” dan menjelma hingga ke seluruh penjuru dunia.
Tabrani walau hanya mampu menggoyang pandang dalam mata memandang, pada panggung mempesona, menawarkan bahasa Indonesia menjadi bahasa perekat bahasa persatuan, seperti orkestra, seperti peperangan akbar, seperti ikhlas mengaji, hilang dari angan walau sudah menanam sejuta impian.
Hari ini, 95 tahun lalu sejak bahasa Indonesia berdaya panggil ke seluruh nusantara, ketika Tabrani sudah menyatu dalam bumi tanpa pernah tahu mentari dan rembulan Istiqomah bersinar, Tabrani seakan-akan hadir kembali menjadi saksi. Bahasa Indonesia sudah mengubah sejarah.
Hari ini, ketika Tabrani sudah tidak keliling dunia menulis karya jurnalistik, tidak lagi menata huruf huruf bahasa Indonesia. Mari kita tulis sebagai bapak Bahasa Jurnalis Indonesia, sebagai Pahlawan Nasional, sebagai sekedar penghargaan sesaat melengkapi perjuangan yang sudah tamat. (*)