Minggu, 6 Oktober 2024
34 C
Surabaya
More
    OpiniTajukNU, Wali Songo, Radikalisme dan Piagam Madinah

    NU, Wali Songo, Radikalisme dan Piagam Madinah

    Oleh Djoko Tetuko – Pemimpin Redaksi WartaTransparansi

    Nahdlatul Ulama (NU) lahir ketika umat Islam seluruh dunia sangat membutuhkan penyelamatan situs peninggalan Nabi Muhammad Shollahu alaihi Wassalam, organisasi masyarakat keagamaan ini juga menjadi salah satu ormas dibentuk dengan langkah awal perlawanan terhadap penjajah.

    Bahkan, menjadi penguatan lembaga pendidikan tradisional di pondok pesantren dengan berbagai perjuangan mendidik anak-anak bangsa, memahami dan memberi pengertian masalah agama. Juga menjadi penguatan para santri membekali keilmuan sebagai bekal keimanan dan ketakwaan menjaga kedaulatan bangsa dan nusantara.

    Kini ketika Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Jawa Timur mengusulkan memperkuat ajaran ahlusunnah di ranah publik, maka itu sesungguhnya penguatan ajaran Wali Songo ketika menanamkan “kebudayaan nusantara” terutama “kebudayaan Jawa” dalam amal sholeh.

    Sebagaimana usulan Prof Mas’Ud Said dalam forum rapat Komisi Program Kerja Munas dan Kombes NU di Jakarta yang dibuka Wakil Presiden RI, KH Prof Ma’ruf Amin, Sabtu (25/9/2021), mengingatkan agar proliferasi (pengembangan ideologi) tidak mengarah pada radikalisme membumikan ajaran ahlusunnah.

    Sesungguhnya ahlusunnah secara tidak langsung sudah massif dalam kehidupan sehari-hari Nahdliyin (penganut NU). Tetapi memang belum menyeluruh dengan budaya yang sama dan memahami dengan pengertian yang sama. Dimana beberapa amal ibadah selama ini ialah sebuah penguatan dan upaya menyempurnakan amalan ibadah saat dikenalkan para Wali Songo. Dimana ketika itu,  mengenalkan dan mengimankan bangsa Indonesia (setelah mendapat hidayah secara massal).

    Kekuatan ajaran Wali Songo, bukan semata-mata langsung pada praktik beramal sholeh secara kaku. Tetapi melalui berbagai pendekatan dengan tetap menjaga Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam kehidupan secara nyata, lebih menyesuaikan dengan keadaan atau budaya daerah masing-masing.

    Sementara itu, Radikalisme (dari bahasa Latin radix yang berarti “akar”) adalah istilah yang digunakan pada akhir abad ke-18 untuk pendukung Gerakan Radikal. Dalam sejarah, gerakan yang dimulai di Britania Raya ini meminta reformasi sistem pemilihan secara radikal. Gerakan ini awalnya menyatakan dirinya sebagai partai kiri jauh yang menentang partai kanan jauh. Begitu “radikalisme” historis mulai terserap dalam perkembangan liberalisme politik, pada abad ke-19 makna istilah radikal di Britania Raya dan Eropa daratan berubah menjadi ideologi liberal yang progresif.

    Radikalisme di Indonesia, seperti tidak ada tujuan kecuali mengacaukan kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan mengalihkan ajaran ahlusunnah dibelokkan ke ajaran lain dengan dalil seakan-akan lebih benar dan memberi jaminan menuju surga. Bahkan menggunakan kata “neraka” untuk membuat seakan-akan ajaran radikal lebih benar.

    Toleransi dalam ajaran agama Islam dengan kekuatan ahlusunnah di Indonesia, secara tradisional sudah mengakar dan mendarahdaging ketika ditanamkan Wali Songo.

    Dan ajaran sangat demokratis itu sama dengan sikap toleransi begitu kuat seperti dalam keluarga, sudah diajarkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabat dalam bermasyarakat dan bernegara. Apabila dirunut dari sejarah perjalanan umat Islam, kehidupan bernegara bagi umat Islam telah dimulai sejak periode Madinah, di mana nabi bertindak selaku kepala negara.

    Piagam Madinah adalah landasan konstitusi negara demokratis. Piagam Madinah sering disebut sebagai konstitusi tertulis pertama di dunia. Piagam tersebut lahir pada tahun pertama Hijrah (622 M) berabad-abad sebelum banyak masyarakat dunia mengenal konstitusi tertulis.

    Piagam Madinah atau Shahîfat al-Madînah dikenal sebagai Konstitusi Madinah. Piagam tersebut adalah sebuah dokumen yang disusun oleh Nabi Muhammad SAW yang berisi tentang perjanjian formal antara dirinya dengan semua suku-suku dan kaum-kaum penting di Yasrib, Madinah.

    Peristiwa tersebut membuktikan bahwa sejak hijrah ke Madinah, Nabi Muhammad Saw sudah mempraktikkan kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang demokratis di tengah masyarakat yang plural dengan aliran ideologi dan politik yang heterogen. Beliau adalah tipe pemimpin yang sangat demokratis dan toleran terhadap semua pihak, menjadikan semua penduduk merasa aman dan tenteram.

    Wali Songo dalam peradaban modern dan suasana penjajahan, mampu menanamkan akidah dengan kekuatan budaya tanpa membelokkan ajaran sedikit pun.

    Oleh karena itu, kembali ke kehidupan berbangsa, bernegara, dan beragama jauh lebih santun jika kembali kepada ajaran Wali Songo dengan berbagai keluhuran akhlak atau Budi di bumi nusantara. Melestarikan ajaran Wali Songo akan menjadi sebuah kekuatan untuk menghargai para pejuang pada zamannya. Dan pejuang masa kini guna menjaga Republik Indonesia tercinta dari usaha dan rongrongan untuk menjatuhkan kewibawaan bangsa dan negara melalui aliran radikalisme.

    NU dengan menanamkan dan melestarikan ajaran Wali Songo sebagai kepanjangan tangan dari modernisasi dan penyesuaian Piagam Madinah pada suasana alam nusantara sangat tepat dan manfaat. Oleh karena itu, Mari menjaga keluhuran budi pekerti ajaran Wali Songo dalam denyut kehidupan warga NU untuk menjadi kekuatan nasional dalam kehidupan sehari-hari yang santun dan berbudi pekerti. InsyaAllah dengan menguatkan ajaran Wali Songo akan dijauhkan dari aliran radikal dan didekatkan dengan aliran kesantunan karena akhlak mulia. Dan itu memang perlu diwujudkan dalam kurikulum pendidikan budi pekerti nusantara.(*)

    Penulis : Djoko Tetuko

    Sumber : WartaTransparansi.com

    COPYRIGHT © 2021 WartaTransparansi.com

    Berita Terkait

    Jangan Lewatkan