Al-Bushiri adalah keturunan Berber yang lahir di Dallas, Maroko, dan dibesarkan di Bushir, Mesir. Dia murid sufi besar Imam Asy-Syadzili dan penerusnya yang bernama Abul Abbas Al-Mursi, tokoh Tarekat Syadziliyah. Di bidang fiqih, Al-Bushiri menganut Madzhab Syafi‘i, madzhab fiqih mayoritas di Mesir.
Pada masa kecilnya, dia dididik oleh ayahnya sendiri dalam mempelajari Al-Quran, di samping berbagai ilmu pengetahuan lainnya. Kemudian belajar kepada ulama-ulama di zamannya. Untuk memperdalam ilmu agama dan kesusastraan Arab, dia pindah ke Kairo. Di sana menjadi seorang sastrawan dan penyair yang andal. Kemahirannya di bidang syair melebihi para penyair pada zamannya. Karya-karya kaligrafinya juga terkenal indah.
Di dalam qashidah Burdah diuraikan beberapa segi kehidupan Nabi Muhammad SAW, pujian terhadap dia, cinta kasih, doa-doa, pujian terhadap Al-Quran, Isra Mi’raj, jihad, tawasul, dan sebagainya. Dengan memaparkan kehidupan Nabi secara puitis, Al-Bushiri tidak saja telah menanamkan kecintaan umat Islam kepada nabinya, tetapi juga mengajarkan sastra, sejarah Islam, dan nilai-nilai moral, kepada kaum muslimin.
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika qashidah Burdah senantiasa dibacakan di pesantren-pesantren salaf.
Al-Burdah, menurut etimologi, banyak mengandung arti, antara lain baju (jubah) kebesaran khalifah yang menjadi salah satu atribut khalifah. Dengan atribut burdah ini, seorang khalifah bisa dibedakan dengan pejabat negara lainnya, teman-teman, dan masyarakat pada umumnya. Burdah juga merupakan nama qashidah yang digubah oleh Ka‘ab bin Zuhair bin Abi Salma yang dipersembahkan kepada Rasulullah SAW.
Al-Bushiri setelah wafat dimakamkan di Iskandaria, Mesir, sampai sekarang masih diziarahi orang. Makam itu berdampingan dengan makam gurunya, Abul Abbas Al-Mursi.
Memuji Nabi Muhammad bukanlah menganggap dia sebagai Tuhan.. Menyanjung Rasulullah adalah mengakui Muhammad SAW sebagai manusia pilihan. “Kami tidak mengutus engkau (hai Muhammad) kecuali (sebagai) rahmat bagi alam semesta (wa ma arsalnaka illa rahmatan lil’alamin).”
Dalam sebuah hadits disebutkan, “Didiklah anak-anakmu dalam tiga tahap. Mencintai Nabi, keluarganya, dan membaca Al-Quran.”
Perwujudan mencintai kekasih, apalagi dia itu adalah kekasih Tuhan, Al-Quran mengajarkan dan menganjurkan kepada umat Islam, sebagaimana tertera dalam Kitabullah, “Sungguh Allah dan para malaikat bershalawat atas Nabi. Hai orang beriman, bershalawatlah atasnya dan berilah salam kepadanya dengan sehormat-hormatnya salam.” (QS 33: 56).
Shalawat, jika datangnya dari Allah kepada nabi-Nya, bermakna rahmat dan keridhaan. Jika dari para malaikat, berarti permohonan ampun. Dan bila dari umatnya, bermakna sanjungan dan pengharapan, agar rahmat dan keridhaan Tuhan.
Dalam surat yang lain Allah memuji hamba-Nya yang satu ini dengan, “Sungguh engkau (hai Nabi) benar-benar dalam budi dan perangai yang tinggi.” Allah tak pernah memanggil namanya langsung, seperti “hai Muhammad”, melainkan “hai Nabi”, “hai Rasul”, “hai pria yang berselimut”. Di samping itu bukankah Baginda sendiri yang menganjurkan kita untuk menghaturkan sanjungan (madah) terhadap diri dia? Seorang nabi yang telah digambarkan oleh Al-Quran sebagai “pencurah rahmat bagi seluruh alam semesta”. Seperti diharapkan dia dalam banyak hadits agar kaumnya banyak menyebut namanya.
“Sebutlah selalu namaku, sungguh shalawatmu itu sampai kepadaku,” sabdanya. Bahkan dianjurkan agar umat Islam banyak-banyak menyebut namanya di malam Jum’at. Seperti dalam riwayat lain, sungguh menyebut nama Muhammad SAW akan dijawab (dengan pahala) berlipat-lipat. Subhanallah…
InsyaAllah ikhtiar warga Pogar Bangil adalah ikhtiar dari jutaan umat dari kampung ke kampung di bumi pertiwi untuk bertobat dan memohon doa dibebaskan dari Covid-19 dengan membaca shalawat burdah.
Membaca shalawat burdah adalah memuji dan memanggil Nabi Muhammad SAW, sebagai penyambung doa sekaligus memohonkan kepada Allah SWT. InsyaAllah seluruh ikhtiar membawa barokah dan wabah segera sirna.