Menurutnya, selain wilayah sudah tidak zona merah lagi, guru yang mengajar harus sudah divaksin dan ada izin dari orang tua atau wali murid. “Intinya ada aturan yang sudah ditetapkan. Ada wilayah yang diperbolehkan tatap muka, namun tidak boleh semuanya masuk. Ada yang boleh hanya 25 persen saja sampai 50 persen saja. Namun jika terjadi peningkatan Covid, tentunya rencana PTM ini harus dipikirkan lagi dampaknya,” tambahnya.
Sebenarnya, diakui Kodrat intinya adanya PTM merupakan salah satu cara proses belajar untuk mengurangi rasa jenuh siswa selama pandemi covid. Menurutnya, siswa jika ketemu temannya akan menimbulkan motivasi juga. Sehingga timbul imun karena adanya semangat.
Sebenarnya pemerintah memprediksikan PTM bisa berlangsung pada Juli mendatang. Karena ada kecenderungan pandemi Covid-19 mulai mereda. Namun, adanya varian baru yang diketahui lebih cepat menyebar, hal itu ternyata tidak terpikirkan. Sehingga harus mempertimbangkan lagi menggelar PTM. Jangan ingin memenuhi target, namun risikonya justru semakin memperbanyak daerah zona merah.
Belajar Tatap Muka itu jangan hanya melihat subjek dan objeknya yakni guru dan muridnya. Tetapi juga harus melihat kondisinya. Seperti gedung yang masih banyak yang rusak, karena lama tidak terpakai. Sehingga perlu dilakukan penyemprotan, ada prokes hingga guru yang harus divaksin. “Kan masih ada juga guru yang nggak mau divaksin,” keluh Kodrat yang juga Ketua DPD Ormas MKGR Jatim ini.
Jangan hanya melaksanakan program kementerian saja, tetapi harus melihat kondisi daerah masing-masing. Memenuhi syarat atau tidak atau membahayakan bagi siswa itu. Inilah yang harus dipikirkan lagi.
Saat ini di Jatim ada tiga daerah masuk zona merah yakni Ngawi, Ponorogo dan bangkalan, zonan oranye ada 35 kabupaten/kota(*)