Perjalanan karirrnya, di Northwestern, almarhum Artidjo menulis disertasi mengenai pengadilan hak asasi manusia dalam sistem peradilan di Indonesia. Almarhum juga pernah menempuh pelatihan pengacara hak asasi manusia di Universitas Columbia selama enam bulan.
Almarhum “sang penakluk koruptor” Artidjo Alkostar, di bidang hukum dimulai pada tahun 1976. Awalnya, ia menjadi tenaga pengajar di FH UII Yogyakarta. Pada tahun 1981, menjadi bagian dari Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta, masing-masing menjadi wakil direktur (1981-1983) dan direktur (1983-1989).
Pada saat yang sama, ia bekerja selama dua tahun di Human Right Watch divisi Asia di New York. Sepulang dari Amerika, mendirikan kantor hukum Artidjo Alkostar and Associates hingga tahun 2000. Selanjutnya, pada tahun 2000 terpilih sebagai Hakim Agung Republik Indonesia.
Artidjo Alkostar mengawali kariernya sebagai hakim agung pada tahun 2000, dan pensiun pada 22 Mei 2018. Sepanjang 18 tahun mengabdi, almarhum Artidjo telah menyelesakan sebanyak 19.708 berkas perkara di Mahkamah Agung.
Berbagai kasus besar telah ditangani, seperti kasus proyek pusat olahraga Hambalang, suap impor daging, dan suap ketua Mahkamah Konstitusi.
Almarhum “sang penakluk koruptor” Artidjo Alkostar, hingga akhir hayat tercatat sebagai Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi periode 2019-2023.
Lepas dari takdir mengantar almarhum “sang penakluk koruptor” wafat. Lalu siapa di antara para ahli dan pakar hukum di tanah air mampu mengabdi kepada kejujuran dan keadilan seperti almarhum Artidjo.
Kita tunggu “sang penakluk koruptor” di negeri tercinta Indonesia ini. Karena tanpa kehadiran sang penakluk koruptor”, rasanya masih terlalu lama bermimpi “Merdeka dengan sungguh-sungguh” di Negara Kesatuan Republik Indonesia, walau sudah begitu hebat dan bermartabat dengan asas Pancasila. (*)