JAKARTA (WartaTransparansi.com) – Pandemi COVID-19 merupakan penyakit jenis baru yang mana hampir seluruh negara di dunia belum memiliki pengalaman dan belum siap dalam penanganannya
Oleh sebab itu sangat wajar apabila kemudian muncul informasi yang simpang siur di tengah masyarakat global, sehingga menimbulkan kepanikan.
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan RI, Achmad Yurianto mengatakan, kepanikan yang terjadi di masyarakat juga semakin membesar ketika kemudian banyak informasi negatif seputar penanganan COVID-19 di belahan dunia.
Yuri mencontohkan, informasi negatif yang kemudian menimbulkan efek kepanikan luar biasa berasal dari berita di media seperti; Kota Wuhan di Tiongkok bak Kota Mati atau ‘Zombie Land’, kemudian sorotan media tentang penanganan jenazah di Ekuador yang tidak diperlakukan secara layak karena kekurangan peti jenazah, lalu di Amerika banyak jenazah yang tidak dimakamkan karena kekurangan petugas dan sebagainya.
“Ini kepanikan, wajar,” ujar Yuri di Media Center Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, Graha Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Jakarta, Sabtu (20/6).
Selain kepanikan di masyarakat, Yuri yang didaulat sebagai Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan COVID-19 mengungkapkan bahwa pandemi juga menyebabkan otoritas pemerintah beberapa negara di dunia mengalami goncangan hebat. Sebab, COVID-19 tidak hanya berdampak pada aspek kesehatan saja, melainkan juga menghantam berbagai sektor.
Di sisi lain, Yuri juga menilai bahkan selama ini belum ada negara yang kemudian memiliki pengalaman yang paling tepat dalam menangani pandemi COVID-19.
“Dampaknya ke mana-mana, masalah ekonomi, sosial, politik dan sebagainya. Dan kemudian tidak ada satu pun negara yang kemudian memiliki pengalaman paling pas,” jelas Yuri.
Hingga saat ini, bidang otoritas kesehatan dunia pun belum mengetahui bagaimana penanganan COVID-19 secara tepat, sebab virusnya belum benar-benar dikenali, vaksin belum ada dan masih terus dikembangkan.
Kendati demikian, Yuri menilai bahwa kemudian muncul suatu anggapan terhadap suatu negara yang dirasa ‘mampu’ mengendalikan dan dijadikan pembanding. Hal itu yang kemudian memunculkan beragam persepsi di masyarakat, padahal belum tentu kondisi tiap-tiap negara dalam aspek epidemiologi adalah sama.
“Pengalaman dari berbagai negara yang dalam tanda petik merasa mampu mengendalikan, dijadikan pembanding. Padahal belum tentu kondisi negara satu dengan negara yang lain di dalam aspek epidemiologi sama persis itu tidak ada,” jelas Yuri.
Menurut Yuri, gambaran tersebut kemudian yang menjadi warna paling besar di dalam kaitan dalam penanganan COVID-19 yang dialami banyak negara di belahan dunia sampai memiliki cara untuk menentukan. Sehingga, seringkali pengalaman suatu individu atau kelompok yang dinilai berhasil menangani kemudian dianggap yang paling benar.
“Kadang-kadang pengalaman seseorang untuk ‘berhasil’ menangani dianggap itu yang terbenar. Ada yang mengatakan; kita menggunakan herbal ini bagus, kalau perlu semua pakai. (Padahal) Belum tentu sama orang lain juga cocok, obat pun juga begitu,” jelas Yuri.
Dalam kondisi tersebut, Yuri mengatakan bahwa kuncinya penanganan COVID-19, baik untuk masyarakat maupun pemerintah adalah manajemen informasi. Informasi yang baik dan benar serta dapat dipertanggungjawabkan dapat membuat masyarakat menjadi paham dan menyadari tentang bagaimana COVID-19 dapat ditangani.
Kemudian, manajemen informasi juga dapat digunakan suatu otoritas pemerintahan dalam menyiapkan strategi penanganan COVID-19 di wilayah masing-masing. Bagi bidang kesehatan, kerja sama global dalam naungan Badan Kesehatan Dunia (WHO) dapat dijadikan sebagai salah satu acuan penangannya.
“Baik kepada masyarakat agar tidak panik, kepada pemerintah agar bisa mengatur strategi yang paling tepat untuk situasi dan kondisi wilayah masing-masing, dan tentunya di bidang kesehatan ini kerja sama global yang diorganisasikan WHO yang menjadi salah satu acuan kita,” pungkas Yuri. (sam)