Ketiga, #keamanan. Pengertian
aman dalam *Istitho’ah* itu bisa dari segi keselamatan jiwa, harta hingga perbekalan. Dan musim Pandemi Covid-19 seperti sekarang keselamatan jiwa jamaah haji harus diperhatikan karena *Hifdunnafsi* (menjaga jiwa dari kematian) adalah bagian dari *Maqosid Syari’ah* (tujuan syari’at), pertimbangan mengikat bagi penyelenggara haji mengutamakan keselamatan.
Bercermin ulasan tersebut, dan mayoritas calon jemaah haji berusia lanjut, tentu potensi terpapar Covid 19 akibat tertular atau penyakit bawaan, menjadi sinyal merah. Peringatan keras, kategori zona merah, bukan aman. Apalagi, kondisi di Indonesia dan Saudi Arabia tren positif terpapar virus Covid-19 terus melonjak. Maka menghindari terjadinya korban yang lebih besar harus didahulukan daripada memaksakan untuk tetap berangkat haji. *Dar’ul Mafasid Muqoddamun ala Jalbil Masholih*.
Berikutnya keempat, #sehat Jasmani dan rohani. Sebagaimana kita pahami pemerintah ketika memberangkatkan jama’ah haji sudah mengetahui siapa yang memiliki resiko tinggi berkaitan dengan kesehatan, baik karena lanjut usia alias resti atau karena memiliki penyakit bawaan yang butuh perhatian khusus. Keterlibatan Kementrian Kesehatan bagian pemenuhan syarat sehat untuk jamaah. Jadi kriteria, mampu sehat jasmani dan rohani tentu diikuti dengan protokol kesehatan Pandemi Covid-19. Selain menyulitkan penyelenggaraan haji Indonesia berimbas saat di tanah suci Mekkah dan Madinah.
Rangkaian ujian mengikuti standar protokol Pandemi Covid-19 bukan hal mudah. Mulai rapid test dinyatakan reaktif atau non reaktif. Berikut dilakukan SWAB PCR, bukanlah putusan final. Bila diberikan sertifikat bebas Covid19 bisa berbalik kepanikan saat pemeriksaan lanjutan dinyatakan positif Covid-19.
Beban psikologis jemaah harus menjalani isolasi 14 hari di negeri Arabia dan tidak bisa melakukan rangkaian ibadah tentu tekanan sangat berat. Bisa stres sehingga menurunkan daya tahan (imun jamaah). Bila demikian, keputusan menunda haji menjadi pilihan alternatif terakhir walaupun tersulit.
Terakhir, adalah #aman melakukan perjalanan. Kalau pun empat syarat Istitho’ah di atas terpenuhi semua, akan tetapi tak adanya waktu memungkinkan berangkat ke tanah suci maka wajib haji gugur bagi dirinya. Ternyata memang memenuhi standar mampu, sama sulitnya dengan sikap yakin menghadapi Covid-19.
Diperlukan ketelitian, pemahaman, kebersamaan pemerintah dan stouchorder untuk menerima kenyataan bahwa bersabar mencari terbaik bagian ikhtiar menuju kepasrahan kepada Dzat Yang Maha Pengasih, Penguasa alam semesta. Kalau sudah memanggil hambaNya tentu sangat gampang untuk memampukan. Itulah kompleksitas mampu, istitho’ah.
Kita harus sepakat dan meyakini, Bahwa ibadah Haji adalah panggilan untuk siapapun tanpa melihat status sosial orang tersebut. Artinya, panggilan lintas bagi hambaNya yang beriman dan mampu, bila Allah sudah berkehendak memanggil, mulai tukang kebun, petani, guru ngaji, dosen, developer, pengusaha, politikus, pejabat dan hambaNya dari segala strata, maka hanya gelora kata: Penuhi PanggilanNya.
Kenikmatan memenuhi panggilan Allah, harus mampu mengendalikan dan mengesampingkan hajat lain. Setuju? Ingatlah doa Nabiyullah Ibrahim Al Khalilullah yang diabadikan dalam QS Ibrahim:37 artinya: “Ya Rabb, sesungguhnya aku telah menempatkan kebahagiaan keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman (lembah gersang) di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati.
Ya Rabb kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia condong kepada RumahMu dan beri mereka rejeki dari macam buah-buahan agar mereka bersyukur.”
Jadi, di balik ibadah haji yang multi kompleks, muara akhirnya mengajari anak Adam umat manusia Agung Baginda Rasulullah SAW untuk mandiri dan tidak mensekutukan Allah, Sang Khaliq. Tuan rumah bagi tamu-tamu istimewaNya.
لبيك اللهم لبيك، لبيك لا شريك لك لبيك، إن الحمد والنعمة لك والملك لا شريك لك.
Semoga ulasan ini memberikan nikmat tambahan bagi hambaNya yang dloif, lemah dan tidak pantas untuk berbuat pongah, khususnya dloifullah yang keberangkatan ke tanah suci Mekkah dan Madinah tertunda. Yakinlah, pasti ada hikmah terbaik bagi saudara-saudara calon Dloifurrahman yang tertunda untuk menunaikan panggilan Allah.
Sekali lagi, Ikuti tuntunan Ilahi, untuk selalu tawaddu (rendah diri), qonaah (menerima apa adanya), bersikap Wara (berhati-hati) menjaga diri dan hati tidak menyalakan, serta memiliki keyakinan bahwa tidak ada yang tidak mustahil di dunia ini bila Allah berkehendak.
Kemenag juga harus bijak untuk melayani dan mencari solusi terbaik, efek dari putusan menunda haji 2020, menjelaskan bila ada permohonan pengembalian dana haji (refund), kompensasi dari penundaan bila ada jamaah terhalang permanen, dan seterusnya.
Bagaimana pun Allah mengikuti prasangka hambaNya. Semoga mengabulkan semua doa kita, termasuk mensikapi problem haji. InshaAllah meraih haji mabrur. Wallahu a’lam bishshowab. (*)