HAROMAIN – Dua tempat suci yang pasti terjaga kesuciannya, yaitu Makkatul Mukarromah di Mekah tempat kelahiran Rasulullah Muhammad SAW dan Al Madinatul Munawaroh, kawasan yang awalnya disebut Yatsrib, kota perdagangan yang dipenuhi kaum munafik dan pembohong, hingga berubah menjadi Madinah Al Munawaroh (Kota yang bercahaya).
Lantas bagaimana dengan syiar Rasulullah terkait haji dan umroh? Berbicara Haji dan Umroh tentu tidak lepas tauladan Baginda Muhammad SAW. Salah satu tempat yang perlu diulas, adalah pesona wilayah di Dzulhulaifah, kawasan bersebelahan dengan wadi Aqiq (Lembah Mutiara atau Permata) di wilayah Abyar Ali, 14 kilometer sebelah barat masjid Nabawi.
Memang, salah satu dari kaitan ibadah Umroh dan Haji adalah melaksanakan rukun dan wajib. Artinya, rukun sesuatu proses perbuatan yang diawali dan diakhiri secara tertib dan berurutan. Sedang wajib, bagian dari rukun yang turut mengikat, bila terlupakan atau terabaikan terkena dam atau denda. Salah satunya, adalah mengambil miqot.
Di sinilah, penulis ingin mengupas keberadaaan masjid Dzulhulaifah, tempat miqot bagi penduduk Madinah dan sekitarnya. Hebatnya, walau miqot di masjid Dzulhulaifah, atau disebut masjid Asy-Syajarah, masjid Al Miqot, Abyar Ali, Abar Ali, Miqat al Ihram, Al Muhrim atau Al Hasa, hampir seluruh jamaah umroh dan haji merasa lebih nyaman bila mengawali ibadah dari kota Madinah dan melanjutkan umroh dan haji dengan miqot Dzulhulaifah.
“Dulu, Rasulullah sempat berteduh di pohon Akasia di tempat Dzulhulaifah, sehingga disebut masjid Syajarah (pohon), sedang penamaan Bir Ali atau Abyar Ali, karena inisiatif Ali bin Abi Thalib membikin banyak sumur sehingga daerah Dzulhulaifah termasuk kawasan subur. Yang jelas, ketika Rasulullah menentukan Dzulhulaifah sebagai miqot haji dan umroh bagi penduduk Madinah, maka ada keberkahan. Makanya, juga disebut Wadi Mubarrok, “ ungkap Ustadz Halil Rusdi dan Ali Ustman, muthowib yang sering mendampingi penulis.
Yang jelas, masjid yang sangat asri dan menempati areal lebih 6.000 m2 ini begitu molek dan mempesona. Sejarahanya, awal dibangun pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz (memerintah Madinah 87-93 H), dilanjutkan renovasi era Abbasiyah, Utsmaniyah, khususnya pemerintahan Sultan Mehmet IV (1058-1099 H).
Pesona masjid Dzlhulaifah semakin mentereng saat Raja Fahd bin Abdul Aziz melakukan perluasan. “Menara Azdan unik berbentuk spiral tinggi 62 meter, di tengahnya ada ruang hijau hampir 1.000 meter dan kubah setinggi 16 meter. Jadi, perlu hati-hati, arealnya bagi jamaah yang baru datang bisa kesasar,” ingat Ustadz Sadrun, yang juga berbagi pengalaman dengan penulis.