Saat memasuki kawasan suci, wisatawan harus mematuhi ketentuan jika hanya menggunakan celana pendek, maka harus menutup sampai di bawah lutut dengan kain warna coklat yang sudah disediakan.
“Karena dari masuk tadi sampai keluar ini, daerah atau wilayah sembayang, maka harus memakai kain ini,” kata Dayu yang saat itu bertugas di bagian pintu keluar sekaligus meminta kembali kain coklat.
Dari rangkaian tempat suci sampai kampung GWK dengan model perkampungan bukit, dihiasi lampu dan layanan memanjakan dengan menyewa mobil golf, sepeda pancal, dan motor mini teletabis, sayang tidak ada tempat khusus yang memberikan warna khas Bali, juga kisah Garuda penaklukkan malaikat untuk membebaskan ibunya.
Jika di setiap perjalanan ada, tontonan seperti tari atau drama kolosal dalam bentuk pemutaran film atau bentuk lain. Pasti akan menambah daya tarik sebagai magnet untuk mengundangkan kembali wisatawan.
Sekedar catatan transparansi, maka ikon pendamping GWK di Bali sudah cukup baik, tetapi menambah beberapa budaya khas Bali yang eksotik tentu lebih hebat untuk persaingan wisata yang kian berat.
Bahkan jauh lebih hebat, jika di kawasan GWK ada semacam miniatur cerita tentang kesaktian Wisnu dan kehebatan burung Garuda.
Sebuah ikon wisata di Bali dengan menawarkan cerita Wisnu dan ada tempat Sembayang yang suci, menyediakan mushola merupakan sikap toleransi dan saling menghargai. Tetapi menjalani wisatawan dengan tambahan daya tarik di GWK merupakan satu impian menjadikan Bali semakin indah dan enak dipandang mata. InsyaAllah wisatawan akan datang dan datang lagi karena ada magnet yang menarik narik simpati. (jt)