Fenomena medsos melahirkan selebriti medsos. Orang yang gak ketahuan juntrungnya tiba2 saja menjadi terkenal karena alasan2 yang gak jelas. Maka lahirlah para selebritas dadakan yg kaya raya karena akun medsosnya diikuti jutaan orang.
Di politik juga sama saja. Medsos melahirkan politisi2 dadakan yang menjadi terkenal krn memanfaatkan medsos. Publik gak tahu banyak tentang kualitas sang politisi, tp krn tiap hari dia aktif bermedsos diapun menjadi selebritas dadakan.
Memang medsos bisa menjadi alat komunikasi politik yang efektif. Tak terhitung banyaknya politisi dunia yang memanfaatkan medsos utk saluran komunikasi politiknya. Salah satu yang paling fenomenal adalah donald trump yg selalu memakai twiter untuk berkomunikasi politik. Setiap saat si donald akan memakai twiter utk menyampaikan gagasan2 politiknya yang sering nyleneh dan kontroversial.
Si donald juga rajin ngevlog biacara melalui video untuk mengomentari even atau menyampaikan pandangan politiknya. Radio dan televisi pun dibuat obsolete oleh pola komunikasi politik ala medsos yang serba cepat n instan. Pidato kenegaraan State of Union yang dulu ditunggu2 sekarang jadi gak menarik lagi.
Zaman dulu pidato politik para presiden ditunggu2 di depan radio oleh khalayak krn disiarkan live lewat radio. Di indonesia rakyat berjubelan di depan radio mendengarkan pidato bung karno yang menggelegar penuh gelora yang membakar semangat. Lapar lupa, susah jadi lupa, melarat jadi lupa kalau sdh mendengar orasi bung karno. Rakyat yg lapar bisa mendadak kenyang setelah dengar pidato si bung.
Gak gampang utk bisa jadi orator sekelas bung karno krn butuh keahlian retorika, logika, harus paham psikologi massa, dan hrs kaya referensi. Kita tahu bgmana kualitas para founding fathers kita yang benar2 kelas dewa. Referensinya dahsyat mengutip pandangan intelektual2 hebat dunia mulai dari marx, adam smith, montesqueu, renan, dll. Para politisi pendiri bangsa itu menguasai filsafat politik dan paham betul teori2 politik dari berbagai pakar.
Bung karno, hatta, sjahrir, hos cokroaminoto, agus salim, tan malaka, _just to name a few,_ adalah politisi cum intelektual yg menguasai filsafat dan teori2 politik. Karena itulah maka argumen mrk menjadi berbobot, debat mereka cerdas dan menarik, logika mereka jernih.
Harus kt ingat mrk itu bukanlah org2 tua. Mrk adalah anak2 muda yg sekarang masuk dlm kategori politisi milenial. Mrk msh berusia awal 20an atau 30 tahunan tapi kematangan dan kedewasaan mereka sungguh mengagumkan. Itulah era emas politik indonesia. Lima belas tahun pertama indonesia merdeka adalah zaman keemasan yang melahirkan politisi2 emas yg tak bakal terlupakan sepanjang sejarah.
Mereka matang krn kaya akan referensi. Buku2 referensi pasti sulit didapat saat itu karena hanya dicetak di eropa. Tp buktinya para politisi itu semuanya punya referensi buku2 babon politik, ekonomi, sosial, budaya, seni, dll.
Zaman berganti. Kata Marshal McLuhan _the media is extension of man,_ media itu kepanjangan manusia, media itu spt mirror pengilon bagi manusia dan zamannya, apa yang terjadi pada manusia akan tercermin pada medianya.
Lahirlah era televisi. Media berubah, manusia berubah, politisi dan politik pun berubah. Tidak ada lagi politisi orator ulung krn televisi tdk mungkin mengutip pidato panjang lebar, yg dibutuhkan adalah sound bite pernyataan pendek yang menggigit. Politisi tdk lagi mengutip referensi2 yg njelimet, mrk belajar memberi pernyataan impromptu yang pendek padat dan tdk merayap. Wawancara radio yg indepth diganti degan wwncara doorstop dgn statemen 10 detik saja.
Lanskap politik berubah. Politisi cum ilmuwan gak punya panggung lagi, muncullah politisi charming, ganteng, camera face dan pintar memberi pernyataan pendek yg quotable, gampang dan enak dikutip. Bintang paling di era teve 1970an adalah john f. Kennedy, ganteng, kaya, pintar ngomong. Dia jadi presiden mengalahkan nixon yang tongkrongannya gak menarik blas.
Nasib bangsa amerika akhirnya membawa mrk punya presiden sejenis donald trump, presiden era medsos, presiden era post truth pasca kebenaran. Anda gak perlu ngomong mengenai kebenaran, yang diperlukan adalah ngomong segala hal yg ingin didengar khalayak, yg sesuai dgn emosi khalayak, bahkan kalau itu adalah kebohongan sah2 saja krn kebohongan sdh tdk ada lagi diganti pasca-kebenaran alias post thruth.
Si donald jagoan post truth, ia menang krn jago memainkan emosi khalayak, ia bicara soal imigran gelap yg merampok pekerjaan org amerika asli, ia bicara soal penjajahan ekonomi cina, ia bicara soal ancaman islam, ia bicara apa saja utk membuat rakyat amerika gemetar ketakutan dan kemudian memilih dia. Semua ancaman itu ilusi kata musuh2 si donald tp rakyat percaya, buktinya dia menang. Itu bukan bohong, itulah post truth.
Di indonesia sama saja. Sekarang adalah era politik medsos dan post truth. Gak ada lg politisi cum intelektual. Yang ada adalah politisi scare-mongerig dan war-mongering yg kerjaannya nakut2i rakyat dengan menciptakan genderuwo2 yg gak jelas, ada genderuwo komunis pki, ada genderuwo cina, ada genderuwo islam militan, ada genderuwo khilafah, dan masih banyak lg berjenis2 genderuwo, _you name it._
Jangan harap ada politisi cum cendekiawan spt zaman dulu yang kaya referensi dan menguasai filsafat dan logika. Yg ada skrg adalah politisi pokrol bambu, politisi kusir dokar yang otot lehernya kuat krn jago ngeyel meskipun argumennya zonk alias kosong.
Di era keberlimpahan informasi spt sekarang para poltisi malah miskin referensi. Berbekal info dari media online trus ditambah brosing dikit2 dari kiai gugel jadilah mrk berdebat di teve spt kusir andong. Benarlah kata Blaudilaard, tsunami informasi gak bikin org makin pinter malah tambah oon, mrk menjadi _al-ruwaibidhah_ si bodoh yg mengatasnamakan umat.
Para politisi karbitan memakai twiter, vlog dan sejenisnya utk mencuitkan suaranya. Seringkali cuitan harus dibikin kontroversial spy jadi heboh. Tujuannya macem2 mulai caper sampai cari sensasi atau sekadar spy nambah follower.
Era politik citra sdh melangkah jauh menjadi era pasca kebenaran.
Anak2 kemarin sore yg tdk ketahuan asal usulnya tiba2 jadi selebritas politik medsos trus jadi jago debat di televisi, tema apapun dia lahap mulai dari politik, ekonomi, sampai agama gak ada matinya. Mereka tahu sekarang era post truth, bohong tidak dosa malah wajib. Ngomong apa saja boleh yang penting nambah follower.
Orang2 kayak gini ini saya sekarang nyaleg, nyabub, nyagub, nyapres…duh! (*)