Bagdad/Kirkuk, Irak – Irak mulai memilih dalam pemilihan parlemen pertama pada Sabtu sejak mengalahkan ISIS, tetapi hanya sedikit orang yang mengharapkan para pemimpin baru untuk memberikan stabilitas dan kemakmuran ekonomi yang telah lama dijanjikan.
Produsen minyak tersebut telah berjuang menemukan formula untuk stabilitas negaranya sejak invasi pimpinan Amerika Serikat menggulingkan diktator Saddam Hussein pada 2003, dan banyak warga Irak telah kehilangan kepercayaan pada politisi mereka.
Siapa pun yang dipilih parlemen baru sebagai perdana menteri akan menghadapi berbagai tantangan setelah perang tiga tahun melawan ISIS yang merugikan negara itu sekitar 100 miliar dolar AS.
Sebagian besar kota Mosul di bagian utara Irak telah menjadi puing-puing dalam pertempuran untuk menggulingkan ISIS, dan negara akan membutuhkan miliaran dolar untuk membangun kembali. Perekonomian pun sedang stagnan.
Ketegangan sektarian, yang meletus dalam perang sipil pada 2006-2007, masih merupakan ancaman keamanan utama. Dan dua pendukung utama Irak, Washington dan Teheran, berselisih.
Tiga kelompok etnis dan agama utama – mayoritas orang Arab Syiah dan Arab Sunni serta Kurdi – telah berselisih selama beberapa dekade, dan perpecahan sektarian tetap sedalam yang pernah ada.
Wartawan Reuters melihat tempat pemungutan suara dibuka di Baghdad dan kota-kota lain.
“Saya akan berpartisipasi, tetapi saya akan menandai `X` pada surat suara saya. Tidak ada keamanan, tidak ada pekerjaan, tidak ada layanan. Para kandidat hanya menginginkan uang, bukan untuk membantu orang,” kata Jamal Mowasawi, seorang tukang daging berusia 61 tahun.
Tiga kandidat utama untuk perdana menteri, petahana Haider al-Abadi, pendahulunya Nuri al-Maliki dan komandan milisi Syiah Hadi al-Amiri semua membutuhkan dukungan dari Iran.