PERGELARAN pesta demokrasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentakdi seluruh Indonesia, ternyata tidak sehebat pernyataan sikap parapenguasa, pemimpin partai politik, pengamat politik, maupun berbagaikalangan pendekar demokrasi, serta wartawan sebagai penjaga keseimbangan demokrasi.
Pilkada dengan semboyan dan motto bahwa Indonesia merupakan negarapaling demokrasi di dunia dengan sistem pemilihan daerah secara langsung, tetap berdampak pada ketidakmampuan menempatkan demokrasi secara seimbang dalam kapasitas memperjuangkan kepentingan bangsa dan negara.
Pilkada tetap saja menjadi ajang atau arena, jual beli suara, suap menyuap hak pilih, berdebatan tidak konstruktif yang memamerkan kecongkakan para calon kepala daerah, perburuan harta dan kekayaan untuk memburu kemenangan dengan jalan apa saja, bahkan kadang memang sengaja menghalalkan segala cara. Lebih memprihatinkan lagi, bukan membangun demokrasi sejati, tetapi sudah merusak silaturrahmi.
Wartawan, organisasi pers, dan pers nasional sudah menjadi satu bagian yang tidak terpisahkan, sebagaimana dalam ketentuan umum Undang Undang Pers tahun 1999. Wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik. Organisasi pers adalah organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers. Pers nasional adalah pers yang diselenggarakan oleh perusahaan pers Indonesia.
Wartawan dalam kamus disebutkan Wartawan atau jurnalis atau pewarta adalah seseorang yang melakukan kegiatan jurnalistik atau orang yang secara teratur menuliskan berita (berupa laporan) dan tulisannya dikirimkan/dimuat di media massa secara teratur. Laporan ini lalu dapat dipublikasi dalam media massa, seperti koran, televisi, radio, majalah, film dokumentasi, dan internet.
Wartawan mencari sumber mereka untuk ditulis dalam laporannya; dan mereka diharapkan untuk menulis laporan yang paling objektif dan tidak memiliki pandangan dari sudut tertentu untuk melayani masyarakat.
Wartawan dalam hal melayani masyarakat, memperjuangkan kepentingan bangsa (rakyat) dan negara, maka disinilah fungsi wartawan sebagaimana amanat pasal 3 Undang Undang Pers, (ayat 1) ’’Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial’’. Dan (ayat 2), ’’Disamping fungsi-fungsi tersebut ayat (1), pers nasional dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi’’.
Pers nasional sebagai wadah wartawan menjalan tugas dan profesinya sudah jelas mempunyai fungsi sebagai media informasi, tentu saja bukan sekedar menyampaikan informasi apa adanya atau sesuai dengan kemauan para pemilik media, tetapi ada fungsi pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial yang sesuangguhnya merupakan satu kesatuan yang sangat strategis.
Dimana fungsi pendidikan dan kontrol sosial yang wajib wartawan selalu berpihak terhahap kebenaran, melawan ketidakadilan, memerangi korupsi, kolusi, dan nepotisme, melawan semua penyimpangan dan kesewenang-wenangan, tetapi juga tetap berpikir memberikan hiburan kepada masyarakar pembaca, pendengar maupun pemirsa.
Oleh karena itu, wartawan wajib berpihak kepada perjuangan menjaga martabat dan marwah negara secara menyeluruh dan utuh, wartawan harus berani menyuarakan ketimpangan dan menyimpangan terhadap penyelenggaraan negara dalam hal ini mengontrol pemerintahan dalam menjalankan amanat rakyat, apalagi ketika sudah mengkhianati Negara Kesatuan Republik Indonesia dan sudah tidak melaksanakan ajaran Pancasila sebagaimana amanat pada Pembukaan Undang Undang Dasar 1945.
Wartawan wajib berpihak kepada bangsa (rakyat) sebagai pemilik sah NKRI, bukan sekedar memikirkan kepentingan pribadi dan golongan, apalagi memikirkan kepentingan medianya, tetapi berpihak pada kepentingan tertentu yang sudah jelas-jelas tidak berpihak kepada masyarakat, apalagi yang terang menderang dan jelas-jelas sudah mengkhianati rakyat dengan ’’membodohi atau meninabobokkan’’ dengan berbagai dalih yang menyesatkan.
Wartawan wajib berpihak kepada kebenaran ketika dana APBN dan APBD tidak digunakan sebagaimana mestinya, bahkan dihambur-hamburkan untuk kepentingan pribadi, golongan, dan kepentingan segelintir penguasa dan pengusaha yang berakibatkan akan merugikan negara dan bangsa.
Wartawan juga wajib berpihak ketika seluruh pejabat pemerintah melalui lembaga apa saja (yang sesusungguhnya adalah sebagai pelayan rakyat), mengkhianati dengan melakukan penyelewenagan atau penyimpangan yang sudah jelas-jelas mensengserakan rakyat.
Kewajiban berpihak wartawan sebagaimana contoh-contoh kecil di atas, harus dilakukan secara totalitas dengan menjalan fungsi pers nasional dengan sungguh-sungguh, bahkan harus bertanggung jawab kepada seluruh pembaca, pendengar dan pemirsanya. Kewajiban berpihak kepada kebenaran, kejujuran, keadilan, kesejahteraan, dan kemakmuran,merupakan harga mati, sekaligus sebagai ’’Sumpah Profesi’’ wartawan.
Bagaimana dengan wartawan sebagai tim sukses (Timses) pada Pilkada, Pilpres, dan Pileg? Kematangan wartawan sangat ditentukan pada posisi sangat strategis dan menjanjikan ini. Mengapa demikian? Sebab,wartawan harus tetap menjaga independensinya dengan meletakkan pribadinya bahwa seorang wartawan hanya menjalankan profesi atau sebagai pekerja di pers nasional.
Oleh karena itu, kewajiban menjalankan fungsi secara totalitas dalam menyampaikan informasi, pendidikan, hiburan maupun kontrol sosial harus tetap utuh serta menyeluruh dalam menjaga keseimbangan berita.
Sikap wartawan memilih jalur sebagai Timses adalah sikap pribadi, bukan sikap profesi atau pekerja pers, dan inilah dibutuhkan kematangan dan kemampuan menjalankan profesi wartawan secara profesional dan proporsional.
Sebagai individu atau pribadi, wartawan tetap wajib memberikan bantuan pemikiran dan ide-ide cemerlang untuk kepentingan calon kepala daerah, legislator, presiden juga wakil presiden.
Tetapi sebagai pers nasional yang menyuarakan suara siapa saja melalui media tempat pekerja, harus menjaga independensi dengan tetap menyajikan berita seimbang, menyampaikan berbagai informasi dalam konstruksi cover both side.
Oleh karena itu, ketika wartawan dengan pers nasionalnya, dimana ia menjalankan profesi atau pekerja di media, sudah tidak seimbang menyajikan informasi Pilkada, Pileg maupun Pilpres, maka itu sebuah pengkhianatan terhadap profesi.
Tentu saja juga belum mampu serta belum matang sebagai wartawan sejati, sehingga hanya ada dua pilihan. Berhenti sebagai wartawan atau berhenti sebagai Timses.
Sebaliknya, jika wartawan mampu menjadi Timses dengan baik dalam melakukan komunikasi dengan berbagai pihak, mentalurkan aspirasi dan ide-ode brilian membangun bangsa dan negara, serta melakukan kritik konstruktif. Tetapi mampu menjaga keseimbangan medianya (sebagai pers nasional), maka kepribadian dan sikap wartawan seperti ini ialah sosok wartawan yang profesional dan proporsional. Mampu menempatkan jati diri wartawan pada tempat yang mulia.
Dan itulah wartawan sejati yang insya Allah dalam perjuangannya akan mendapat pilihan suci, perjuangan untuk ibu pertiwi serta pengabidan kepada negeri tiada henti.