Kediri  

Sidang Jembatan Brawijaya, Terdakwa Sebut Kalangan DPRD Nikmati Aliran Dana

Sidang Jembatan Brawijaya, Terdakwa Sebut Kalangan DPRD Nikmati Aliran Dana
Jembatan Brawijaya yang masih mangkrak dan kasusnya terus bergulir ke Meja Hijau

KEDIRI – Kasus dugaan korupsi pembangunan Jembatan Brawijaya yang menyeret tiga orang tersangka dilingkungan Pemerintah Kota Kediri, Jumat (06/04 /2018), mencuat temuan baru. Dimana, sidang yang kesekian kalinya, para terdakwa menyebut ada aliran dana masuk dikalangan DPRD Kota Kediri.

Hal tersebut dijelaskan Abdul Rasyid, Kasi Pidsus Kejaksaan Negeri kota Kediri sekaligus Jaksa Penuntut Umum ( JPU) kasus jembatan Brawijaya. Bahwa, para terdakwa secara jelas menyebut ada aliran dana masuk kekalangan Legeslatif.

” Para terdakwa (mantan Kadis PUPR Kasenan dan Nur Iman Satryo Widodo, pejabat pembuat komitmen (PPK) menyebutkan, ada Rp 600 juta masuk ke kalangan DPRD periode 2009-2014 ” ungkap Rasyid.

Ketika ditanya perihal identitas anggota DPRD yang menerima aliran dana, Rasyid enggan menjabarkan. Menurutnya, dari hasil keterangan terdakwa hanya disimpulkan, aliran dana yang mengalir ke kalangan Legeslatif semakin jelas.

” Pastinya, keterangan para terdakwa menguatkan akan aliran dana yang masuk ke kalangan DPRD Kota Kediri ” imbuhnya.

Mengacu hal itu, kata Dia, belum adanya penepatan tersangka baru. Melainkan, menunggu proses persidangan agenda selanjutnya.

Lalu, ketika disinggung kalangan DPRD yang menerima aliran dana apakah masih menjabat saat ini ? Rasyid juga enggan berkomentar.

” Pastinya, kita tunggu saja hasil dan fakta dari hasil persidangan akan adanya penambahan tersangka baru ” pungkasnya.

Sekedar diketahui sebelumnya, Kejaksaan Tinggi Jawa Timur menahan tiga tersangka kasus korupsi pembangunan Jembatan Brawijaya Kota Kediri, yakni mantan Kadis PUPR Kasenan, Kabid Permukiman DPUPR Wijanto, serta Nur Iman Satryo Widodo, pejabat pembuat komitmen (PPK)

Diduga, tiga tersangka tersebut melakukan korupsi mega proyek pembangunan Jembatan Brawijaya Kota Kediri 2010-2013 yang didanai APBD Rp 66 miliar. Modus operandinya, tersangka tidak membuat Harga Perkiraan Satuan (HPS), hingga negara dirugikan berkisar Rp 14 miliar. (bud)