Catatan ringan Djoko Tetuko-Pimred Koran Transparansi
PADA Pemilihan Umum (Pemilu) pertama Pemerintahan Orde Baru pada tahun 1971, jumlah kontestan ada 10 partai politik, Partai Katolik.Partai Syarikat Islam Indonesia, Partai Nahdlatul Ulama, Partai Muslimin Indonesia, Golongan Karya, Partai Kristen Indonesia, Partai Musyawarah Rakyat Banyak, Partai Nasional Indonesi, Partai Islam PERTI, dan Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indoensia.
Hingar bingar Pemilu lebih marakyat dan ada ikatan emosional lebih bersemangat karena ada harapan sebuah pembaharuan, setelah Orde Lama mencatat prestasi gilang gemilang dan sangat luar biasa, sebagai negara merdeka dengan kemampuan berpolitik di dunia internasional sangat piawai. Indonesia sempat menggelar Asian Games, Ganefo, dan Koneferensi Asia Afrika, sebuah catatan emas, kesuksesan Presiden Soekarno, dengan segala keterbatasan.
Hanya sekedar meluruskan bahwa Guntur Soekarno pada tahun 1971 sebagai politikus, Guntur terjun langsung berkampanye dan mengajak simpatisan Partai Nasional Indonesia (PNI) mendukung partai dengan nomer 8. Ada tiga partai dalam catatan sejarah Pemilu 1955 mencapai pendukung kisaran 20%, yaitu PNI (22,3 %)/57 kursi, Masyumi (20,9%)/57 Kursi, dan Nahdlatul Ulama (18,4%)/ 45 kursi., yang masih ikut sebagai kontestan pada Pemilu 1971.
Guntur dielu-elukan masyarakat Sidoarjo ketika kampanye di Sidoarjo pada tahun 1971. Bahkan saat mengumpulkan kader-kader terbaik PNI di Sidoarjo dan sekitarnya waktu itu. Ketika itu penulis masih kecil dan bermian di rumah pak Edi (panggilan Ketua PNI Sidoarjo, di jalan Mojopahit Sidoarjo), Guntur dengan sederhana menyapa pendukung PNI serta ratusan simpatisan. Waktu itu di tengah-tengah jalan Mojopahit masih ada taman cukup indah membela antara jalan mobil dengan becak dan sepeda angin. Namun, seperti catatan sejarah mencatat bahwa setelah Pemilu 1971, walaupun NU dan PNI masih eksis menjadi pesaing Golkar, seperti dongeng semalam tiba-tiba bukan lagi menjadi kekuatan penentu dalam berpolitik praktis di gedung MPR mauoun DPR RI.
Pemilu 1977 mencatat sejarah baru perubahan arah ;politik praktis lebih didesain hanya untuk 3 partai, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sebagai referensi partai Islam, Golkar sebagai lanjutan dari Sekretaris Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar) sebagai refresentasi partai pemerintah, dan PDI sebagai referensi nasionalis. Jaman memang telah mengubah Indonesia dengan berbagai denyut perpolitikan yang begitu kuat mengendalikan pemerintah dan kebijakan secara umum menentukan arah negara. Hasilnya memang warna itu sangat menentukan. Berubah-ubah arah, berganti-ganti kebijakan, tetapi tetap saja hak anak bangsa belum terlaksanakan, mensejahterakan rakyat Indoensia dengan kekayaan yang melimpah.
Cerpol (cerita pendek politik) di atas sekedar mengantar, bahwa ketika dunia perpolitikan tiba-tiba hingar bingar kembali, tentu saja diingat bahwa Indonesia pernah mencatat sebagai negara dengan melaksanaan demokrasi sejati yang luar biasa, dengan hasil dan perolehan mewakili bangsa dan negara di kancah internasional dan dunia, juga luar biasa. Sekarang Indoensia harusnya luar biasa, demikian juga Jawa Timur, yang menjadi barometer nasional.
Empat Wanita
Berbicara Pilkada (Pemilihan Kepada Daerah), khususnya di Jatim, sekedar mencatat bahwa sempat muncul tiga wanita menjadi kontestan dengan cara berbeda. Khofifah sudah sejak mendapat dukungan dari Nasdem dan Golkar terus menggalang dukungan dengan melibatkan tokoh cucu pendiri Nahdaltul Ulama, KH Sholahuddin Wahid (Gus Sholah).
Wanita kedua santer mendapat dukungan berpsangan dengan Saifullah Yusuf, ialah Walikota Surabaya, Tri Rismaharini, menempuh pendidikan dasar di Sekolah Dasar Negeri Kediri, melanjut sekolah di Surabaya sampai mahasiswi ITS 10 November Surabaya, dan sekaang menjadi salah satu pemimpin wanita dengan prosesntase dibicarakan secara nasional cukup tinggi. Bahkan sempat diminta maju Pilkada DKI Jakarta, tetapi mendapat tantangan dari para pendukungnya, dan selalu diam tidak memberi tanggapan apa-apa.
Wanita ketiga sempat meramaikan bursa calon Gubernur Jatim, ketika La Nyala Mahmud Mattaliti, mengembalikan surat tugas, karena tidak mendapatkan dukungan dari partai PAN maupun PKS, untuk menambah kekurangan partaiu Gerinda, maka muncul nama Yenny Wahid yang bernama lengkap Zannuba Ariffah Chafsoh Rahman Wahid (lahir di Jombang, Jawa Timur, 29 Oktober 1974; Bahkan viral media sosial ramai memberikan dukungan soal kepantasan, tetapi juga ramai memberikan simpati dan agar nerhenti karena pengalaman sejarah bahwa partai-partai yang mengusung adalah berbeda haluan dengan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada saat itu.
Wanita keempat ialah Puti Guntur Soekarno, menjadi pendatang baru di Jatim, sekaligus pesaing baru Khofifah, setelah dua wanita sebelumnya tidak bersedia atau tidak siap melawan Menteri Sosial ini. Puti, belum pernah mencatat apa-apa, bahkan belum menyamai prestasi bapaknya, Guntur, pada tahun 1971, setelah itu hilang dari peredaran. Tetapi kini telah didadapkan ketetapan bakal bertarung melawan Khofifah di Pilgub Jatim, 27 Juni 2018 mendatang.
Sekedar mengingatkan bahwa dunia perpolitikan tidak ‘’Hitam Putih’’, namun perjalanan politik pasti penuh dengan warna warni, ’’Full Color’’, Khofifah di antara bayang-bayang kekuatan kiai, Rsma di antara bayang-bayang sejarah orangtuanya sebagai pejuang di Surabaya, Yenny Wahid di antara bayang-bayang Gus Dur, dan Puti di antara bayang-bayang Guntur, Megawati dan Soekarno. Bayang-bayang hanyalah sekedar menjadi penguat, tetapi sepak terjang ke depan siapa pun wanita dalam Pilkada, dalam Pemilu, dalam Pilpres, dalam perjuangan kebangsaan, maka perjuangan sejati dengan mengedepankan kepentingan rakyat sangat menentukan nasib umat.