PAGI ini Al Faqir terpukau dengan kiriman video puisi yang disampaikan ulama kharismatik dan pujangga Romo KH Mustofa Bisri, di Group WA. Karya-karya puisi Gus Mus — sapaan beliau, menilai karyanya lebih 20 tahun lalu ternyata masih sangat mengena dan relevan dipakai cermin saat ini.
Dengan bahasa sarkasme dan sindiran; “Apa saya yang gila atau negeri ini yang gila”. Gus Mus memang di zaman berbeda tapi mampu menyemai dan menyambung perbedaan. Sungguh, Gus Mus Sang Inspirator.
Inilah cuplikan pembuka puisinya:
Mana ada negeri sesubur negeriku ( kata Gus Mus 20 tahun lalu), sawahnya tak hanya menumbuhkan padi, tebu dan jagung, tapi juga pabrik, tempat rekreasi dan gedung, …”
Ya, Gus Mus yang telah menapak hampir 80 tahun (10 Agustus 1944), sebenarnya sangat piawai dan suhu dalam berdalil serta berhujjah. Sebagai mantan Rais Amm Syuriah PBNU dan pemangku Ponpes Raudlatut Thalibin, Rembang, Jawa Tengah, gen dan darah biru keturunan ulama besar tentu tidak diragukan lagi keilmuannya.
Hebatnya, sebagai figur publik dan panutan umat, Gus Mus selalu tampil dengan kesederhanaan dan gaya Flamboyan. Bisa berada di mana-mana serta menjadi penyejuk dan pelepas dahaga umat musafir yang kehausan atas nilai-nilai keadilan, kesejahteraan dan kebodohan.
Jujur, Gus Mus merupakan ulama idola yang mampu menjadi pembeda, sebagai perekat adanya perbedaan itu sendiri. Kritikan-kritikan tajam menukik, memberikan goresan nasehat yang tak lekang oleh zaman. Menjadi multivitamin bagi generasi multidimensi.
Setidaknya petuah, syair-syair bersayap dan nasehat penuh sindiran membuat siapapun bisa menerima dengan sejuta makna.
Jujur, sangat sulit di era milineal dan Gen Z menemukan figur seperti Gus Mus. Setidaknya, kalau segala gerak gerik beliau merupakan tablik, menyampaikan kebenaran tanpa harus bersinggungan, apalagi saling menghujat. Sebaliknya, bisa langsung menghujam ke ulu hati.