Mengingat Bang Tarman dan Mas Margiono

Mengingat Bang Tarman dan Mas Margiono
Hendry Ch Bangun

Catatan Hendry Ch Bangun

Berada di Kendari di saat-saat menjelang puncak peringatan Hari Pers Nasional, secara otomatis di ingatan saya muncul nama Tarman Azzam dan Margiono. Dua mantan Ketua Umum PWI Pusat yang bagi saya pribadi menanamkan nilai-nilai tentang Persatuan Wartawan Indonesia, organisasi yang saya naungi sejak 1984.

H-1 menjelang puncak, malam hari Bang Tarman pastilah sibuk mencatat-catat. Dia akan merumuskan poin-poin penting yang dihasilkan Konvensi Nasional Media Massa, bersama senior-senior yang menjadi tim perumus atau moderator . Lalu menjadikannya sebagai inti dari pidatonya. Rumusan ini yang secara resmi menjadi laporan masyarakat pers kepada pemerintah, presiden dan menteri-menterinya, yang hadir pada 9 Februari.

Laporan tentang dinamika pers Indonesia, menggambarkan persoalan, tantangan, ancaman, dan harapan bagi pers Indonesia. Sebuah rumusan yang khas, mirip dengan pola pikir pemerintah tentang suatu hal, apakah itu ekonomi, politik, sosial, ataupun budaya. Disampaikan dalam orasi yang berapi-api dan penuh semangat, yang nanti akan disahut mulai dari Gubernur, Menteri, hingga Presiden sendiri. Suasananya serius dan formal, tertib dan hening.

Ketika tongkat estafet beralih, Mas Margiono membawa suasana baru. Bagi dia puncak acara HPN bagaikan sebuah pertunjukan, ada serius dan juga ada santainya.

H-1 memang dia ngobrol dengan pengurus inti, membicarakan poin-poin yang akan disampaikan di depan presiden, berisi konvensi, perkembangan dunia pers, lalu mencatatnya di satu dua lembar kertas putih. Tetapi dia tidak akan mengetiknya dalam pidato berlembar-lembar, hanya berupa coretan kalimat pendek, yang akan dia kembangkan secara lisan.

“Saya ini tidak mau membaca karena akan kaku,” katanya. Pernah satu kali dia mencoba, akibat memang betul, dia terlihat kagok karena terus menerus melihat ke kertas yang dipegangnya. Tetapi risiko tidak membuat pidato tertulis, bisa saja ada hal penting yang sudah dicoretkan, lupa disampaikan.

Mas Margiono membawa puncak acara HPN dalam suasana gembira, penuh tawa, walau pesan inti ke Presiden dan jajaran inti pemerintah yang hadir tetap disampaikan. Dia menjadikan dirinya sebagai bintang standup comedy sehingga walaupun pedas, pesan yang disampaikan diterima dengan baik, hadirin pun tidak bosan dengan jajaran pidato yang biasanya disampaikan Gubernur, Menteri, dan Presiden.

Waktu 5 menit yang disediakann protokol istana, tidak berlaku. Rata-rata pidato Mas Margiono belasan menit, toh petugas yang mengontrol waktu tidak berdaya karena Boss mereka senang dan hadirin berbahagia. (*)

HPN di era Bang Tarman kental dengan warna PWI, ada tumpengan khusus untuk menyambut hari lahir PWI, yang berdiri mulai di Solo pada 9 Februari 1946. Sejak Mas Margiono ini sengaja dia hilangkannya dalam upaya merangkul organisasi wartawan AJI dan IJTI, yang mempersepsikan PWI sebagai bagian dari pemerintah.

Banyak senior PWI yang tidak setuju tetapi mendiamkan saja cara ketua umum baru melakukan pendekatan, meskipun AJI dan IJTI tetap anti HPN. Toh maksudnya baik dan tidak ada salahnya menjalin hubungan baik. Ini memang khas Mas Margiono yang tidak pernah berfikir negatif tentang pihak lain dalam posisinya sebagai Ketua Umum PWI Pusat. Dia merangkul semua tanpa pretensi.

Salah satu wujudnya adalah keterlibatan pihak swasta, di samping kementerian, di dalam acara-acara HPN. Biasanya setelah terbentuk, maka panitia akan audiensi untuk mendapatkan sokongan moril dan materil kemeriahan HPN. Berbagai spanduk pun bertebaran di setiap kota yang menjadi kota tempat acara, baik itu spanduk perusahaan swasta maupun lembaga pemerintah. HPN pun terkesan menjadi wah.