Boss-boss itu pun diundang hadir dan merasakan kemegahan perayaan HPN. Nama-nama besar dunia usaha dan juga pimpinan parpol, bergabung dengan menteri-menteri dan pejabat tinggi, di puncak acara.
Termasuk misalnya mempertemukan Surya Paloh dan Harry Tanoesudibjo di HPN Lombok, yang saat itu menjadi hot issue karena Harry Tanoe keluar dari Partai Nasdem dan membuat partai baru. Juru foto dan wartawan menjadikan mereka sasaran ketika duduk berdekatan di barisan depan menunggu kehadiran Presiden Joko Widodo.
HPN menjadi terasa wah karena jet-jet pribadi juga parkir di bandara. Dan tanggal 8 Februari malam, para pengusaha ini mengajak ngobrol santai para pimpinan media kadang sampai midnight membicarakan apa saja termasuk gossip-gossip. Informasi background, tahu hal-hal yang tabu menjadi berita, sangat bermanfaat bagi pimpinan media agar tetap tahu berita terkini.
Besarnya keterlibatan badan usaha ini bisa terjadi karena Mas Margiono dengan Harian Rakyat Merdeka memang memberi ekspos besar bagi HPN. Biasanya mereka membuat edisi khusus HPN, yang hari itu dicetak dengan jumlah halaman lebih banyak yang dibagikan gratis di arena.
Menteri dan Boss BUMN, begitu pula badan usaha mendapat ekspos istimewa sebagai bonus atas sponsorship atas acara HPN. Saling menguntungkan.
Hal lain lagi adalah Mas Margiono sangat menghormati senior. Setiap HPN semua wartawan senior akan diundang hadir. Dibuat daftar, dan dikontak, dan akan diberi tiket dan akomodasi selama HPN.
Bukan hanya anggota PWI tetapi semua wartawan yang berjasa bagi perkembangan pers di Tanah Air. Maka saat sarapan di hotel baik itu tanggal 7 atau 8 Februari adalah momen-momen mengharukan. Khususnya bagi mereka yang kurang aktif, atau berada di pelosok daerah, bertemu lagi dengan kolega setelah 20 tahun, 30 tahun, menciptakan suasana hangat.
Ya, HPN dijadikan ajang silaturahmi semua wartawan Indonesia, terlepas dari perbedaan sikap dan pandangan. Bagi wartawan muda dan wartawan daerah, HPN juga menjadi knowledge sharing dan foto bersama. Kapan lagi berjumpa Rosihan Anwar, mahaguru wartawan Indonesia? Atau menyapa Atmakusumah, Fikri Djufri, Sabam Siagian, Tribuana Said, atau banyak lagi, yang telah menorehkan nama mereka dalam sejarah pers nasional?
Kehadiran minimal 1000 wartawan, kadang lebih, sungguh menjadi peristiwa langka, sehingga kadang acara resminya menjadi tidak penting bagi mereka. Mereka banyak yang bernoslagia, sekadar ngobrol di tempat makan atau sisi luar ruangan acara.
Hadir di acara HPN karena itu tidak terjelaskan secara ilmiah, tidak bisa dikalkulasi secara ekonomis, karena menyangkut faktor psikologis atau mungkin sosiologis. Ada ratusan orang yang mengeluarkan jutaan rupiah untuk biaya tiket pesawat plus penginapan. Seperti di Kendari ini, ada puluhan atau seratus lebih, wartawan dan keluarga wartawan yang rela naik kendaraan jalur darat menempuh waktu lebih dari 24 jam, untuk datang. Dari Sulawesi Tengah, dari Gorontalo, bahkan dari kabupaten dan kota di Sultra, yang berada di sisi lain sehingga perlu waktu beberapa jam untuk sampai mengadiri HPN.
Mereka hadir tidak sekadar untuk menyerap ilmu dan menyampaikan pendapat tentang kehidupan pers yang mereka alami di daerah mereka, di dalam konvensi ataupun diskusi-diskusi terpisah. Mereka datang untuk bertemu saudara-saudaranya satu profesi. Ataupun berjumpa wartawan-wartawan terkenal yang selama ini hanya bisa mereka baca tulisannya, atau lihat wajahnya di televisi.
Dirgahayu HPN. Mari kita bersatu. Semoga pers Indonesia tetap hidup dan bertahan meskipun digempur pandemi Covid, iklan yang kian menurun, perkembangan teknologi yang mengubah pola masyarakat mengonsumsi informasi.
Kendari 8 Februari 2022. (*)