Oleh: Rakhmad Zailani Kiki – Kepala Lembaga Peradaban Luhur
Pada masa lalu, di zaman kekuasaan Bani Umayyah, umat islam pernah merasakan hidup dalam cacian dan makian para da`i. Di mimbar-mimbar Jum`at, di akhir khutbah, para da`i dengan leluasa mencaci maki Sayyidina Ali bin Abi Thalib krw. dan keturunannya. Padahal yang dicaci maki sudah tidak ada, sudah lama wafat. Pesan takwa yang seharusnya dapat dipetik dan dibawa pulang umat Islam dari mimbar Jumat tersebut menjadi sia-sia; seperti mendapat curahan air ke telapak tangan yang sebelum diminum airnya menghilang tak tersisa.
Walau penguasa Bani Ummayah silih berganti, caci maki di atas mimbar Jumat oleh para da`i baru bisa dihentikan ketika Umar bin Abdul Azis menjadi penguasa, menjadi khalifah. Di tangannya, dengan otoritasnya sebagai penguasa, lisan para da`i yang suka mencaci maki beliau tekuk, beliau perbaiki untuk mengucapkan kebaikan. Kalimat caci maki di akhir khutbah Jumat beliau ganti dengan sebuah ayat di Al-Qur`an surah An-Nahl ayat 90 yang artinya: “Allah memerintahkan berbuat adil, berbuat kebajikan, bermurah hati kepada kerabat dan Dia melarang melakukan perbuatan keji, mungkar, dan permusuhan. Dia mengajarkanmu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”
Kebijakan yang diambil oleh Khalifah Umar bin Abdul Azis ini kemudian seperti yurisprudensi para penguasa di dunia Islam untuk mengatur lisan para da`i saat berceramah di ruang publik. Di negara-negara Islam, di Timur Tengah bahkan di negara tetangga seperti Malaysia dan Brunei, sampai hari ini, para da`i yang memberikan ceramah di mimbar Jumat dan even lainnya memiliki izin dari penguasa dengan materi ceramah sesuai arahan penguasa demi kedaulatan negara dan kemashlahatan bersama.