Namun berbeda dengan negara-negara tersebut, Indonesia, negara demokrasi berpenduduk Islam terbesar di dunia, masih menjadi surganya para da`i untuk bicara apa saja di atas mimbar Jumat dan di even lainnya. Saking bebasnya, sebagian para da`i ini ada yang lupa dengan tugas pokok dan fungsinya bahkan lupa untuk beradab, beretiket sebagai da`i ketika sedang ceramah: caci maki, sumpah serapah keluar dengan berapi-api. Umat yang mendengarnya, menyaksikannya hampir tidak bisa membedakan si dai dengan provokator atau si dai dengan preman. Semua menyatu dalam diri si dai. Hampir mirip seperti saat umat Islam berada di zaman Bani Ummayah sebelum Umar bin Abdul Azis berkuasa
.
Situasi dan kondisi ini tidak bisa dibiarkan karena jelas sudah menimbulkan keresahan dan perpecahan umat dan masyarakat. Namun, berbeda dengan negara lainnya, kekuasaan di Indonesia tidak ada di satu tangan seorang penguasa seperti Umar bin Abdul Azis, namun terbagi di legislatif, eksekutif dan yudikatif yang hukum menjadi panglimanya (rechtsstaat). Maka, tidak ada jalan lain untuk menekuk lisan para dai yang bermasalah dan tidak beradab ini selain melalui jalur hukum. Jadilah pelaporan para dai ke polisi untuk diseret ke pengadilan sebagai fenomena yang menjadi tren dan mewarnai pemberitaan sepanjang tahun 2021.
Fenomena melaporkan para dai yang lisan dan adabnya bermasalah ini ke polisi untuk diadili, *kasus terakhir adalah Bahar bin Smith,* harus kita apresiasi. Karena masing-masing pihak mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan keadilan, Ini sesuai dengan perintah Allah Swt, di surah An-Nahl ayat 90 agar kita berbuat adil. Maka, seburuk apapun caci maki dari para dai` bermasalah ini, seperti seburuk apapun kejahatan para penjahat, maka hukumlah mereka melalui pengadilan. Jangan mereka diadili di luar pengadilan dengan teror, intimidasi dan persekusi karena negara ini adalah negara hukum, bukan negara kekuasaan.
Namun, para dai yang lisan dan adabnya bermasalah ini juga harus sadar bahwa tidak semua orang yang tersinggung, terhinakan atau tersakiti oleh ceramah-ceramah mereka memiliki kesabaran dan kesadaran hukum yang sama. Seperti yang baru saja terjadi pada pembakaran sebuah pondok pesantren di Lombok, NTB oleh masyarakat akibat ceramah caki maki dari pengasuhnya. Jika sudah begini kejadiannya, tidak ada gunanya lagi menyebut diri sebagai dai, dan tidak perlu lagi menceramahi orang lain karena lisannya sudah berada di genggaman hukum, di meja pengadilan; bukan lagi berada di alam pikiran dan hati masyarakat sekitarnya, apalagi bangsa ini. (*)