Oleh H. Samiadji Makin Rahmat, Ketua SMSI Jawa Timur (Pembimbing Umroh-Haji)
PENGAKUAN Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Kota Madinah di Arab Saudi sebagai Kota Tersehat di dunia, sebagaimana dilansir Arab.News pada Ahad (24/1/2021), bukan kejutan. Menurut saya, Madinah bukan sekedar Kota Haromain (dua kota suci dengan Mekkah Al Mukaromah), kota Madinah dalam perjalanan hijrah Rasulullah SAW, menjadi kota yang konsisten dan istiqomah menebar kenikmatan dan kebarokahan.
Hampir sepuluh tahun terakhir, saya selaku Toer Leader (TL) mendampingi Jemaah umroh dan haji ke tanah suci, Madinah memberikan nuansa relegi tersendiri. Sering para Jemaah mengumpamakan, ada treatment batin (hati) begitu memasuki kota Madinah, hati ini terasa aman, nyaman, merasa terlindungi, dan menemukan kenikmatan saat beribadah, khususnya di Roudlo (tempat di areal masjid Nabawi, disebut bagian dari taman surga, antara rumah Rasulullah dan mimbar Rasulullah SAW).
Tentu pemenuhan standar global sebagai kota sehat oleh WHO, bagi subyektif saya tidak lepas dari peletakan dan komitmen Rasululllah SAW, setelah menetap di Madinah. Nama kota Yatsrib oleh baginda Muhammad diubah menjadi Al Madinah Al Munawaroh (Kota peradaban yang terus memancarkan cahaya), Yatsrib sendiri merupakan kota yang dihuni kaum Yahudi, sebagai pusat perdagangan atau pasar hijaz di kawasan Timur Tengah punya arti ‘mencela atau menghardik”.
Sebelum pandemi Covid-19 merebak di bumi Allah Januari-Februari 2020, termasuk Haromain, saya diberikan nikmat bisa mendampingi jamaah hampir tiap bulan. Rute Surabaya – Madinah ditempuh selama 9 jam lebih, bukan capai dan lelah.
Banyak diantara Jemaah, lanjut sujud syukur saat mendarat di Bandara Internasional Amir Muhammad bin Abdul Aziz di Madinah. Mereka begitu takjub dengan kota Madinah yang tertata begitu rapi dan keseimbangan bangunan, jalan, dan kawasan terbuka sangat menawan. Pokoknya kompleks, lengkap!
Ketika memimpin Jemaah, dari hotel kemudian melaksanakan shalat jamak takhir Maghrib-Isya di masjid Nabawi, segala kepenatan, rasa capai dan lelah selama dalam perjalanan dari bandara Internasional Juanda hingga di Madinah sirna. Tidak jarang, Jemaah terlarut dinginnya Madinah yang telah menapak dini hari menunggu tahajjud dan meminta bisa langsung ziarah ke makam Rasulullah dan Roudlo.
Rindu yang tak terbendung.
Yang jelas, saat memasuki kota Madinah, baik oleh muthowwif atau saya, selalu memandu doa yang diajarkan Rasulullah: Allahumma haadzaa haraamu rasuulila waj’alhu waqaayatan minan naari wa amanatan minal ‘adzaabi wa suu’al hisaabi. (Ya Allah, negeri (Madinah) ini adalah tanah haram (mulia) Rasul-Mu. Maka jadikanlah ia bagiku penjaga dari neraka, aman dari siksa dan buruknya perhitungan di hari kemudian).
Sampai di hotel saya harus menyiapkan dan membagikan kunci dibantu muthowwif (guide/ pemandu) ikut fres (badan segar). Apalagi, kalau Jemaah bersemangat dan kebanyakan terlarut dalam kebahagian hingga meneteskan air mata. Allahumma sholli alaa Muhammad.
Bagi Jemaah yang baru pertama umroh, selalu menanyakan, mengapa bangunan di Kota Madinah tertata rapi, dan terakses dengan masjid Nabawi. Kebetulan, saya punya kenalan di Jeddah, seorang insinyur dan arsitek yang ikut terlibat dalam planning (perencanaan) pembangunan kota Madinah.
Telah disepakati, bahwa hotel dan bentuk bangunan yang ada di kota Madinah tidak boleh melebihi tinggi dari manara masjid Nabawi dan punya kesepakatan dilakukan pengembangan masjid Nabawi dengan membongkar hotel di sekitarnya. Luar biasa.
Aroma takjub itu tentu sejalan dengan sabda dari Baginda Rasulullah SAW, bahwa barang siapa yang shalat di masjid Nabawi, satu rokaat sama dengan 1.000 rakaat di masjid lain, kecuali masjidil Haram Mekah, dilipatkan 100.000 kali.