SURABAYA – Kasus pencaplokan tanah warga oleh Pemkot Surbaya untuk keperluan proyek box culvert jalan Banyu Urip, tak kunjung selesai. Sebab, meski gugatan pemilik tanah menang di tingkat Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Pengadilan Tinggi (PT) Surabaya, dan Mahkamah Agung (MA) RI, namun tergugat (Pemkot Surabaya) tak juga memenuhi kewajibannya untuk membayar ganti rugi.
Menurut Yusdi Wibowo Kusuma, pemilik lahan di jalan Banyu Urip nomor 129, warga jalan Dukuh Kupang XIX/11 Surabaya, masalah muncul tahun 2010 ketika Pemkot Surabaya menggarap proyek box culvert di jalan Banyu Urip.
Saat proyek itu berjalan, dia mengaku tak pernah ada sosialisasi maupun surat pemberitahuan dari Pemkot Surabaya. “Tahunya, proyek sudah jalan dan sebagian lahan kami sudah diambil,” katanya, Sabtu (28/9/2019).
Dijelaskan, pihaknya memiliki lahan di jalan Banyu Urip nomor 129 dengan total luas 1.015 M2. Lahan kosong seluas 1.015 M2 itu, terbagi dua bidang dengan dua sertifikat hak milik (SHM).
Bidang pertama, SHM no. 382 dengan luas tanah 508 M2 atas nama Yusdi Wibowo Kusuma sesuai akta jual beli no. 61 tanggal 8 Desember 2010 dengan Notaris dan PPAT Hj. Imnatunnuroh, SH, M.Kn.
Bidang kedua, SHM no. 684 dengan luas 507 M2 yang dibeli dari pemilik lahan sebelumnya bernama Weli, berdasarkan akta jual beli no. 62 tanggal 8 Desember 2010 dengan Notaris dan PPAT Hj. Imnatunnuroh, SH, M.Kn.
“Karena terkena proyek box culvert, bidang pertama yang awalnya seluas 508 M2, sudah terpotong 77 M2 dan hanya tersisa 431 M2. Begitu juga bidang kedua yang awalnya seluas 507 M2 sudah terpotong 75 M2 dan tersisa 432 M2. Jika dihitung dari dua bidang tanah itu, seluas 152 M2 yang dikepras pemkot,” jelas Yusdi.
Menurutnya, sebenarnya masalah tersebut sudah beberapa kali terkomunikasi dengan Pemkot Surabaya dalam hal ini Dinas PU Bina Marga dan Pematusan. Pada tahun 2013, pihaknya pernah dihubungi pihak PU dan mengatakan ada dana ganti rugi.
“Saat di kantor PU jalan Jimerto, saya sodorkan sertifikat. Saya cerita masalah kepemilikan tanah sejak awal, hingga tanah itu kami jual tahun 2012, serta sisa tanah yang terkena proyek box culvert. Meski tanahnya sudah SHM pemilik baru, saya sodorkan copy SHM yang lama dan SHM yang baru. Dari situ kami disuruh menunggu proses selanjutnya terkait ganti rugi,” kata Yusdi.
Karena lama tak ada kabar, tahun 2014, Yusdi mengaku mendatangi lagi kantor Dinas PU Bina Marga dan Pematusan Kota Surabaya. Ternyata petugas awal bagian pembebasan lahan wilayah Banyu Urip yang ngurus masalah tersebut, sudah meninggal dunia dan diganti petugas baru.
“Dari situ kami mendapat penjelasan bahwa masa berlaku surat penetapan lokasi sudah habis dan harus diperpnang melalui Dinas Cipta Karya. Yang ngurus pihak PU. Setelah 4-6 bulan lamanya, saya tanya lagi. Akhirnya saya diundang untuk dipertemukan dengan PU, termasuk dengan pembeli tanah saya. Disepakatilah ganti ruginya,” paparnya.
Setelah menunggu 2-3 minggu, lanjutnya, PU minta SKPT (surat pendaftaran tanah) sebagai syarat terakhir untuk pembayaran ganti rugi. Setelah SKPT terbit dari BPN, Yusdi menyerahknnya ke PU. Tapi, malah keluar surat penolakan dari PU atas permohonan ganti rugi. Alasannya, dianggap dasar kepemilikan tidak jelas.