MAGETAN, Wartatransparansi.com – Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, resmi menetapkan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) Tahun 2026 untuk 38 daerah di Jawa Timur. Penetapan tersebut tertuang dalam Surat Keputusan Gubernur Jawa Timur tentang UMK 2026 yang ditandatangani pada Rabu (24/12/2025) tengah malam, menyusul proses panjang pembahasan bersama unsur pengusaha dan pekerja.
Berdasarkan keputusan tersebut, UMK Kabupaten Magetan tahun 2026 ditetapkan sebesar sekitar Rp 2,55 juta. Angka ini mengalami kenaikan dibanding UMK tahun sebelumnya dan menjadi standar minimum upah bagi pekerja dengan masa kerja kurang dari satu tahun di wilayah Magetan.
Ketua Komisi B DPRD Magetan Rita Haryati, menegaskan bahwa penetapan UMK 2026 harus benar-benar dijalankan secara konsisten oleh seluruh pemberi kerja di Kabupaten Magetan, tidak sekadar dipatuhi secara administratif.
“UMK sudah ditetapkan gubernur dan itu wajib dipatuhi. Masalahnya, di lapangan masih kita temukan upah dibayar di bawah standar, gaji dicicil, bahkan hak normatif seperti THR dan lembur yang tertunda. Ini yang harus diseriusi,” ujar Rita, Kamis (25/12/2025).
Menurut legislator PDI Perjuangan ini, dengan besaran UMK Magetan yang masih berada pada level menengah di Jawa Timur, tidak ada alasan bagi pengusaha untuk menghindari kewajiban membayar upah sesuai ketentuan. “Rp 2,5 jutaan itu bukan angka yang mewah. Itu batas minimum agar pekerja bisa bertahan hidup secara layak. Jadi kepatuhan UMK adalah soal keadilan dan keberpihakan pada rakyat pekerja,” tegasnya.
Dia juga mendorong Pemerintah Kabupaten Magetan, khususnya Dinas Ketenagakerjaan, untuk memperkuat fungsi pengawasan dan tidak hanya bergerak setelah muncul konflik. “Pengawasan jangan menunggu laporan atau ada demo buruh. Harus ada langkah proaktif, terutama di sektor-sektor yang selama ini rawan pelanggaran,” Pungkasnya
“UMK ini bukan angka tinggi kalau dibandingkan biaya hidup hari ini. Karena itu, tidak ada alasan bagi pengusaha untuk membayar di bawah ketentuan. Upah layak adalah batas minimum keberadaban hubungan kerja,” ujarnya.
Ia menegaskan DPRD, khususnya Komisi B, akan mendorong penguatan koordinasi antara Pemkab Magetan dan pengawas ketenagakerjaan provinsi agar pelanggaran upah tidak berulang setiap tahun.
“Kalau kewenangan sanksi ada di provinsi, maka koordinasi harus dipercepat. Jangan sampai buruh menjadi korban tarik-menarik kewenangan,” tambahnya.
Terkait keberadaan serikat pekerja, Rita menilai organisasi buruh di Magetan sudah ada dan cukup vokal, namun masih menghadapi keterbatasan daya jangkau di tingkat perusahaan.
Rita menutup dengan menegaskan bahwa kepatuhan terhadap UMK bukan hanya soal kesejahteraan buruh, tetapi juga keberlanjutan ekonomi daerah.
“Buruh sejahtera berarti daya beli naik, UMKM bergerak, dan ekonomi Magetan hidup. UMK yang dipatuhi adalah investasi sosial bagi daerah, bukan beban,” pungkasnya. (*)





