Opini  

Merekam Jejak Pengabdian ASN, Refleksi HUT ke 54 KORPRI

Merekam Jejak Pengabdian ASN, Refleksi HUT ke 54 KORPRI

Penulis A. Rusdiana

(Guru besar Manajemen Pendidikan UIN Sunan Gunung Djati Bandung)

Peringatan Hari Ulang Tahun ke-54 Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) pada 29 November 2025 merupakan momentum reflektif bagi seluruh Aparatur Sipil Negara untuk meninjau kembali makna pengabdian.

Tema nasional tahun ini, “Bersatu, Berdaulat, Bersama KORPRI, Dalam Mewujudkan Indonesia Maju,” menghadirkan pesan mendalam bahwa kekuatan birokrasi tidak semata terletak pada regulasi, melainkan pada kapasitas manusia yang menggerakkannya.

Dalam konteks Kementerian Agama, pengabdian ASN bukan hanya administratif, tetapi juga menyangkut pelayanan moral, pendidikan, dan pembentukan peradaban.

Momen ini terasa semakin bermakna karena datang hanya tiga hari setelah bangsa ini memperingati Hari Guru Nasional 2025. Dua kementerian yang memikul beban besar pendidikan nasional menghadirkan tema yang saling bersinergi.

Kementerian Agama melalui tema “Merawat Semesta dengan Cinta” menegaskan bahwa pengabdian guru adalah bentuk kasih sayang terhadap kehidupan itu sendiri. Sementara Kemendikdasmen lewat tema “Guru Hebat, Indonesia Kuat” menegaskan bahwa kekuatan bangsa bertumpu pada kompetensi dan karakter guru. Dua narasi ini HGN dan HUT KORPRI sesungguhnya dipersatukan oleh satu tujuan utama: memperkuat kualitas manusia Indonesia.

Dalam peringatan HUT KORPRI tahun ini, gagasan penting Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti menghadirkan urgensi baru. Ia menegaskan, mustahil Indonesia menjadi bangsa maju tanpa budaya membaca dan menulis.

Pernyataan beliau dalam Musyawarah Nasional ke-20 IKAPI pada 19 November 2025 bukan sekadar peringatan normatif, melainkan gambaran nyata kondisi literasi bangsa yang memprihatinkan. Siswa Indonesia masih lemah dalam memahami teks naratif, terbukti dari capaian yang belum optimal dalam asesmen nasional maupun internasional.

Data UNESCO bahkan menunjukkan bahwa tingkat minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001 persen artinya dari 1.000 orang, hanya satu yang memiliki kebiasaan membaca.

Dalam konteks birokrasi, tantangan ini tidak kalah serius. ASN yang diharapkan menjadi garda depan pelayanan publik dan motor utama pembangunan membutuhkan kapasitas intelektual yang hanya dapat tumbuh melalui budaya literasi.