Opini  

Pendidikan Islam, Tradisi, dan Jalan Keilmuan yang Membumi

Pendidikan Islam, Tradisi, dan Jalan Keilmuan yang Membumi
Abdul Wachid B.S.

Oleh : Abdul Wachid B.S. (Guru Besar UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto)

Di zaman ketika pendidikan cenderung didefinisikan oleh sertifikat, akreditasi, dan capaian teknis, kita perlu mengambil jarak sejenak dan bertanya ulang: untuk apa sebenarnya pendidikan itu? Apakah cukup hanya melahirkan lulusan yang trampil bekerja tetapi hampa kebijaksanaan? Apakah pendidikan berhenti pada penguasaan keterampilan dan pengumpulan angka indeks prestasi?

Pertanyaan-pertanyaan ini penting diajukan kembali terutama dalam konteks pendidikan Islam. Sebab, pendidikan dalam tradisi Islam sejatinya bukan hanya soal transfer ilmu pengetahuan (ta’līm), tetapi juga pembentukan jiwa (tarbiyah) dan penyucian diri (tazkiyah). Pendidikan Islam yang asli bukan hanya tentang informasi, melainkan tentang transformasi.

Namun sayangnya, dalam praktiknya, pendidikan Islam sering kali tercerabut dari akarnya. Ia diposisikan sekadar sebagai satu model “alternatif” dalam sistem yang seragam. Nilai-nilai tradisi yang dahulu menghidupi pendidikan Islam pelan-pelan dikesampingkan demi efisiensi dan standarisasi. Padahal, justru dalam tradisi itulah nilai-nilai keilmuan yang membumi tumbuh dan mengakar.

Tradisi: Bukan Masa Lalu, Tapi Rasa yang Hidup

Kata “tradisi” dalam masyarakat modern sering dipersepsikan sebagai sesuatu yang kolot, kuno, dan tidak relevan dengan kemajuan zaman. Padahal, dalam pandangan yang lebih jernih, tradisi bukanlah masa lalu yang harus ditinggalkan, melainkan kesadaran kolektif yang membentuk jati diri masyarakat. Ia adalah ingatan yang hidup, bukan fosil budaya. Tradisi adalah rasa yang turun-temurun, mewujud dalam etika, laku hidup, dan cara berpikir suatu komunitas.

Dalam konteks pendidikan Islam, tradisi memainkan peran sentral. Pendidikan berbasis pesantren misalnya, tumbuh dari rasa hormat kepada guru, kebersamaan dalam belajar, dan kontinuitas sanad keilmuan. Ada proses panjang dalam membentuk murid menjadi manusia yang utuh, bukan hanya karena ia hafal teks, tetapi karena ia mengalami laku.

Kita bisa belajar dari bagaimana para santri menghayati ilmu. Mereka tidak tergesa-gesa menyelesaikan kitab, tetapi sabar memahaminya. Mereka tidak hanya membaca, tetapi mengamalkan. Mereka tidak hanya duduk di kelas, tetapi terlibat dalam laku hidup bersama: memasak, membersihkan, menyambut tamu, berjamaah, semua itu menjadi bagian dari pendidikan. Inilah pendidikan yang membumi, yang tidak hanya menyentuh akal, tetapi juga menyatu dengan tubuh dan jiwa.

Jalan Ilmu: dari Kitab menuju Laku

Dalam sejarah Islam klasik, pencarian ilmu adalah sebuah perjalanan ruhani. Ulama-ulama besar seperti Imam Al-Ghazali, Ibn ‘Arabi, dan Jalaluddin Rumi bukan hanya dikenal karena kedalaman pemikiran mereka, tetapi juga karena perjalanan panjang yang mereka tempuh, baik secara fisik maupun batin, untuk menemukan kebenaran.

Mereka tidak hanya berguru pada satu dua kitab, tetapi mengalami hidup di bawah bimbingan para guru. Proses ini melibatkan pembentukan karakter, pengasahan jiwa, dan pemurnian niat. Ilmu bukanlah sesuatu yang ditumpuk, tetapi sesuatu yang diresapi. Dalam tradisi keilmuan seperti ini, seseorang tidak layak berbicara tentang ilmu sebelum ia menjalaninya dalam laku.

Sayangnya, dalam dunia pendidikan hari ini, keilmuan lebih banyak diposisikan sebagai “kepemilikan” daripada jalan. Kita diajarkan untuk “menguasai” ilmu, bukan untuk “dikuasai” oleh hikmah yang dikandungnya. Kita diajarkan untuk cepat-cepat tampil, bukan sabar mengendapkan. Akibatnya, lahir generasi yang mungkin cakap secara teknis, tetapi rapuh secara mental dan spiritual.

Adab Sebelum Ilmu