Ida mengatakan, salah satu penyebab utama stunting yang trennya meningkat dalam lima tahun terakhir adalah pernikahan usia muda (di bawah usia 20 tahun). Oleh karena itu, pencegahan dilakukan melalui kelas calon pengantin (catin) dan pendampingan.
“Saat tes kesehatan cantin, ada beberapa kasus menujukan kondisi calon pengantin khususnya wanita mengalami anemia. Dari hasil tersebut kami memberikan rekomendasi agar tidak hamil dulu dan memberikan pendampingan. Ini salah satu pencegahan yang dilakukan,” ungkapnya.
Salah satu panelis dari audit AKS, Prof. Dr. Tri Sumarmi memaparkan usulan hasil temuan di lapangan kepada Pemkot Surabaya. Usulan tersebut adalah perlunya mengatasi masalah TBC pada orang tua dan calon pengantin sebagai salah satu faktor penyakit penyebab stunting.
“Ini harus diikuti dengan perbaikan lingkungan dan perilaku hidup bersih (PHBS) untuk memutus rantai penularan,” imbuhnya.
Selain itu, ungkap Prof Mamik biasa ia disapa, penanganan anemia berat yang ditemukan pada calon pengantin harus ditangani melalui program tepat sasaran dari Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Surabaya. “Masalah bayi lahir prematur juga menjadi temuan yang perlu intervensi dalam pencegahan kasus baru pada stunting,” ujarnya.
Terakhir, Prof. Mamik juga memuji tren penurunan stunting di Surabaya yang dinilai sangat bagus. Hal ini mencerminkan keseriusan pimpinan kota dan kolaborasi seluruh komponen, termasuk perguruan tinggi seperti Universitas Airlangga (Unair).
“Penurunan stunting di Kota Pahlawan sudah sangat bagus. Saat ini, yang perlu diperhatikan adalah bagaimana menyelesaikan kasus yang sudah ada dan mencegah munculnya kasus baru,” tukasnya. (*)





