Pelatihan mewiru dan tata cara berkebaya yang sesuai pakem ini berlangsung selama dua jam. Selama waktu itu, para anggota dilatih berbagai teknik melipat dan menggunakan kain jarit sesuai pakem dan tampak elegan.
Para peserta diajarkan untuk memahami jenis kain yang dipakai, sebab motif batik memiliki cerita filosofinya masing-masing. Sebagai contoh, motif parang tidak boleh dikenakan di istana negara, karena kain itu merupakan pakaian yang digunakan oleh raja-raja pada zaman dulu. Sementara motif tertentu seperti segitiga, identik dengan orang yang sedang kesusahan.
Bukan itu saja, para peserta turut diajarkan cara membedakan teknik mewiru kain jarit batik Surakarta dan Yogyakarta. Untuk kain jarit khas Surakarta menggunakan tiga kali lipatan yang ditarik keluar. Sedangkan kain jarit khas Yogyakarta memiliki ciri khas garis putih di pinggiran kain yang harus ditonjolkan. Selain itu para anggota juga diberitahu cara membedakan pemakaian kain jarit yang digunakan laki-laki dan perempuan.
Dengan bekal pengetahuan ini, ia berharap, ibu-ibu DWP dapat menjadi garda terdepan dalam melestarikan budaya berkain dan berkebaya di lingkungan masing-masing, serta menularkan jiwa nasionalisme tersebut kepada generasi muda.
“Semoga dengan belajar seperti ini, ibu-ibu bisa terpacu untuk melestarikan budaya kita sendiri ke depannya,” harapnya. (*)





