Namun, Adi paham, prestasi tak cukup dibentuk dari joystick dan strategi tim semata. Ia menaruh perhatian besar pada edukasi keluarga.
“E-sport bukan sekadar main game di warung. Kami ingin mengubah persepsi itu. Dengan pembinaan yang tepat, disiplin, dan dukungan orang tua, anak-anak kita bisa mencetak prestasi hingga tingkat internasional,” ujarnya.
Ia juga menyinggung pentingnya dukungan kelembagaan. ESI Kota Kediri, kata dia, harus mendapat tempat setara di mata Pemkot dan KONI agar pembinaannya terstruktur dan terakses program lintas cabang.
Tapi di balik semangat itu, Adi juga menyimpan keresahan tentang lepasnya beberapa bibit atlet berbakat esport Kota Kediri yang membela daerah lain.
“Ada beberapa atlet nasional yang dulunya berasal dari Kota Kediri, tapi akhirnya pindah karena kurangnya perhatian. Ini tak boleh terulang,” katanya, dengan nada serius.
Estafet kepemimpinan itu meninggalkan jejak pekerjaan rumah yang belum tuntas. Ahmad Guntur Zamzami, Ketua ESI Kota Kediri periode 2021–2024, menyebut sejumlah hal krusial yang gagal dirampungkan. Salah satunya, tak adanya wasit bersertifikat di tingkat kota.
“Selama ini kami belum sempat mengirimkan perwakilan dari Kediri untuk mengikuti pelatihan wasit bersertifikat. Padahal, perangkat pertandingan sangat penting agar turnamen bisa berjalan mandiri di tingkat kota,” ujar Guntur, yang kini menjabat sebagai pengurus ESI Provinsi Jawa Timur.
Ia juga menyayangkan lemahnya sistem pendataan atlet dan komunitas yang masih terpencar. Sehingga ia mengusulkan agar dalam kepengurusan yang dinakhodai oleh Adi dapat menjawab tantangan dan PR di kepengurusan sebelumya.
“Kalau sudah ada satu database, kita bisa menyusun langkah pembinaan yang lebih tepat sasaran. Prasasti-prestasi atlet juga bisa tercatat rapi sebagai rujukan pembinaan berkelanjutan,” katanya.
Guntur menekankan pentingnya legalitas komunitas, terutama di kalangan pelajar dan mahasiswa. Ia mendorong agar seluruh komunitas esports Kediri terdaftar dalam sistem Garudaku, platform resmi PB ESI, sebagai prasyarat untuk bisa masuk dalam kompetisi nasional seperti Liga Pelajar, Liga Mahasiswa, hingga Liga Umum.
“Komunitas pelajar dan mahasiswa harus diarahkan agar bisa berpartisipasi dalam liga resmi. Ini penting agar regenerasi atlet tidak berhenti di warung internet atau komunitas kasual saja,” terangnya.
Ia mengenang masa 2022, ketika seorang atlet perempuan dari IAIN Kediri menyabet medali emas di Liga Mahasiswa tingkat provinsi. Sayangnya, prestasi itu terhenti karena minimnya fasilitasi menuju tingkat nasional.
Kini, setelah tongkat komando resmi berpindah, Guntur menyelipkan pesan yang lebih menyerupai peringatan.
“Lanjutkan yang sudah baik, perbaiki yang belum tuntas. Kepengurusan baru harus lebih kuat dari sisi organisasi, pembinaan, dan keberlanjutan kegiatan,” tuturnya.
Karena bagi Guntur, keberhasilan esports bukan soal menang di layar, tapi bagaimana sistem dan semangat itu bisa diwariskan. Dan bagi Adi, tantangan itu baru saja dimulai.(*)