Dalam keterangannya, Kepala MTsN 1 Kota Blitar, Ahmad Mukromin, dalam surat resmi yang ditujukan kepada kuasa hukum korban, menyatakan bahwa tindakan petugas keamanan sekolah, Muhammad Azis Anshari, yang mencukur paksa rambut siswa yang sebenarnya sudah berpotongan rapi, merupakan bentuk pelanggaran terhadap nilai-nilai pendidikan.
“Kami menyampaikan permintaan maaf secara terbuka kepada ananda Husni dan keluarga. Sekolah adalah tempat tumbuh kembang yang aman dan mendidik, bukan tempat yang menimbulkan rasa takut atau trauma. Kejadian ini menjadi pelajaran penting bagi kami semua,” tegas Mukromin.
Pihak sekolah menegaskan bahwa petugas keamanan yang bersangkutan telah dikenai teguran resmi, diminta menandatangani surat permintaan maaf, serta membuat pernyataan tidak akan mengulangi perbuatannya.
Merespons tindakan tersebut, Mohammad Trijanto, kuasa hukum korban dari Revolutionary Law Firm, menyatakan bahwa perkara yang sebelumnya tengah bergulir kini resmi ditutup.
“Langkah permintaan maaf, sanksi internal, dan komitmen perubahan dari pihak madrasah merupakan bentuk tanggung jawab kelembagaan. Dengan dasar itu, kami menyatakan bahwa perkara ini kami tutup. Namun, penutupan ini bersifat final hanya jika tidak ada kejadian serupa di kemudian hari,” ujar Trijanto.
Trijanto menegaskan bahwa insiden ini bukan sekadar tindakan indisipliner biasa, melainkan mencerminkan praktik kekerasan simbolik dalam dunia pendidikan yang harus segera dihentikan.
“Ini alarm keras bahwa praktik kekuasaan masih hidup di lingkungan pendidikan, bahkan di madrasah yang seharusnya mengedepankan akhlak dan keadaban. Ini harus dibongkar dan dibenahi,” tuturnya.
Dirinya mendesak agar Kementerian Agama segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem pembinaan kedisiplinan di seluruh satuan pendidikan di bawah naungannya, termasuk kemungkinan pembentukan unit perlindungan peserta didik.
“Tidak cukup dengan minta maaf. Harus ada reformasi struktural. Jika perlu, bentuk unit perlindungan anak di setiap madrasah,” lanjut Trijanto.
Kasus ini menjadi sorotan publik dan diharapkan dapat menjadi titik balik dalam mewujudkan sistem pendidikan yang lebih humanis dan berpihak pada hak anak.
“Keadilan untuk korban bukan semata soal sanksi, tapi tentang memastikan tidak ada lagi anak yang harus menanggung trauma dari sistem yang seharusnya melindungi mereka,” tandas Trijanto. (*)