Karlan, kakek dari korban berinisial W, menyatakan bahwa keluarga belum pernah menyetujui adanya perdamaian, apalagi menyatakan kasus sudah selesai.
“Tidak ada kata damai. Kami justru minta kasus ini diproses hukum. Ini sudah terjadi berkali-kali, bukan sekali,” ujar Karlan kepada wartawan.
Ia menjelaskan bahwa keluarga, termasuk ibu korban yang kini bekerja sebagai TKW di luar negeri, merasa keberatan dengan pernyataan yang dianggap menyesatkan publik.
Ibu korban bahkan secara langsung meminta agar kasus ini diperjuangkan hingga ke jalur hukum.
“Ibu anak ini dari luar negeri minta agar jangan berhenti. Anaknya dipukuli, lalu katanya sudah damai? Itu tidak benar,” tegasnya.
Lebih mencurigakan lagi, proses mediasi dilakukan secara tertutup tanpa kehadiran media, sehingga memunculkan dugaan bahwa ada upaya menutupi atau meredam kasus agar tidak meluas.
Wartawan yang mencoba meliput proses mediasi di SMPN 3 Doko bahkan dilarang masuk ke area sekolah.
“Kalau memang sudah damai, kenapa keluarga tidak tahu? Kenapa media tidak boleh meliput?” ujar salah satu warga Dusun Precet yang mendukung perjuangan keluarga korban.
Masyarakat setempat, terutama dari lingkungan tempat tinggal korban, ikut meragukan kebenaran pernyataan dinas pendidikan. Beberapa menyebut bahwa SMPN 3 Doko bukan pertama kali mengalami kasus perundungan.
“Sebelumnya juga ada anak di sekolah itu yang jadi korban. Dia sampai nggak mau sekolah. Sekarang terjadi lagi, jangan ditutup-tutupi,” kata seorang warga.
Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Blitar, Adi Andaka, saat di klarifikasi oleh awak media lewat seluler yang menyebut bahwa kasus perundungan di SMPN 3 Doko sedang melakukan mediasi.
“Saat ini pihak Dinas Pendidikan Kabupaten Blitar sedang melakukan mediasi antara pihak sekolah, keluarga korban, Forkopimcam di SMPN 3 Doko,” tuturnya.
Sampai berita ini diturunkan belum ada kejelasan terkait mediasi tersebut, masing-masing pihak bungkam dan belum bisa memberi keterangan yang pasti. (*)