SURABAYA (Wartatransparansi.com) – Menjaga Nahdlatul Ulama (NU) dipandang penting karena organisasi Islam terbesar di Indonesia tersebut merupakan legacy Hadratussyeikh KH Hasyim Asy’ari. Untuk itu semua pihak wajib menjaga keberadaan NU sebagai organisasi sisio- Agama
Hal itu disampaikan oleh Ketua PW ISNU Jawa Timur Prof. M Mas’ud Said, Ph.D dalam acara bedah buku ‘Mengenal Sosok Hadratussyeikh KH Hasyim Asy’ari, Pemersatu Umat Islam Indonesia- Percik Pemikiran Refleksi Socio-Religious KH Abdul Halim Mahfduz’ yang digelar oleh Lembaga kajian Strategis Pemikiran (LKSP) KH. Hasyim As’ari di hotel Khas Surabaya, Selasa (16/07/2024).
Menurutnya, pengaruh Hadratussyeikh KH Hasyim Asy’ari sangat besar, baik dalam keagamaan atau kehidupan sosial.
“Selain Pesantren Tebuireng, NU sebagai legacy Hadratussyeikh yang harus dijaga,” ujarnya.
Hadir dalam acara tersebut , diantaranya pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng K.H. Abdul Hakim Mahfudz, mantan wakil Gubernur Jawa Timur Emil Elestianto Dardak, Ketua Umum Presnas Ikatan Keluarga Alumni Pesantren Tebuireng (Ikapete) Prof. Dr. H. Maskuri Bakri, M.Si beserta pengurus PC Ikapete, Sekretaris PW Muhammadiyah Jawa Timur Prof. Dr. H. Biyanto, M.Ag, Gus Yusuf Hidayat sebagai ketua pelaksana, diikuti pula para alumni Pondok Pesantren Tebuireng.
Prof. Dr. H. Maskuri Bakri, M.Si menuturkan, bahwa
Hadratussyeikh KH Hasyim Asy’ari sebagai ulama pemersatu Indonesia, bahkan dunia. Hal itu dibuktikan dengan usulan Hadratussyeikh KH Hasyim Asy’ari agar Arab Saudi tidak hanya menggunakan satu madzhab.
“Beliau pemersatu, pemersatu kebangsaan, keagamaan, persatuan untuk barmadzhab,” ujarnya.
Mantan rektor Unisma ini menegaskan, Hadratussyeikh KH Hasyim Asy’ari melakukan pekerjaan besar dalam mengangkat derajat kemanusiaan di tengah masyarakat yang banyak melakukan kemaksiatan dan premanisme. Pendirian Pondok Pesantren menjadi bukti bahwa KH Hasyim memiliki peran dalam mengentaskan masyarakat dari berbagai keterbelangguan saat itu.
“Maka hadirnya beliau untuk mendirikan pesantren, bukan untuk gagah-gagahan, tapi beliau punya misi kekholifahan. Kebesaran beliau dalam konteks sosiologis saat itu ditengah serba keterbatasan dari sisi ekonomi, transportasi, politik. Semuanya mengalami keterbatasan saat itu, tetapi beliau bisa melakukan sesuatu yang luar biasa,” ungkapnya.
Prof Maskuri menegaskan, berdirinya Pesantren Tebuireng bertujuan untuk misi mengangkat derajat kemanusiaan. KH Hasyim Asy’ari juga menyentuh ekonomi masyarakat agar bisa berdaya. Karena jika ekonomi disentuh, maka persoalan yang lain akan menjadi baik.
“Premanisame mulai tekikis. Hadratutussyaikh memberikan pendampingan, demikian juga soal agama. Ekonomi menjadi pilar penting menyelesaikan persoalan yang lain,” ujarnya.
Prof Biyanto mengapresiasi hadirnya buku
‘Mengenal Sosok Hadratussyeikh KH Hasyim Asy’ari, Pemersatu Umat Islam Indonesia- Percik Pemikiran Refleksi Socio-Religious KH Abdul Halim Mahfduz’. Buku tersebut jauh dari kesan klenik dan magic.
“Tidak pernah diceritakan KH. Hasyim Asy’ari bisa hilang, jalan di atas air, tidak pernah sama sekali. KH. Hasyim ketika belajar seperti pada umumnya, beliau mendapat ilmu dengan belajar, tidak ada laduni, ini sangat manusiawi dan luar biasa,” tuturnya.
Prof Biyanto mengungkapkan, banyak tokoh Muhammadiyah alumni Tebuireng. Seperti KH Abdurrohim Nur (Mantan Ketua PW Muhammadiyah Jatim) KH Abdurrahman, ahli hadist juga alumni Tebuireng.
“Jadi ini bisa kerjasama dengan Muhammadiyah, bagaimana proses alumni Tebuireng masuk menjadi Muhammadiyah bisa ditulis menjadi buku ini,” kelakarnya.
Menurutnya, buku tersebut memotret banyak tentang perjumpaan KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy’ari. Dua tokoh penting ini telah berbagi peran, KH Ahmad Dahlan mengurusi muslim urban, sedangkan KH Hasyim Asy’ari konsen dengan muslim pedesaan.
“Perjumpaan ini perlu diperbanyak, beberapa tokoh mereka sering berkumpul. Sehingga anak muda Muhammadiyah dan NU bisa menangkap pesan. Perbedaan kecil itu hal biasa, tetapi yang subtansi antara NU dan Muhammadiyah harus rukun. Kalau ngak rukun moderatisme yang terbangun lama akan kacau,” ujarnya.
Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng K.H. Abdul Hakim Mahfudz bercerita, bahwa buku yang saat ini beredar merupakan edisi kedua. Baginya, masih banyak yang perlu direvisi untuk kesempurnaan buku tersebut.
“Ini cetakan kedua, masih banyak yang perlu diperbaiki,” ujarnya.
Terlepas dari itu, Gus Kikin, sapaan akrabnya menerangkan, salah satu peran penting KH Hasyim Asy’ari adalah sebagai inisator agar semua organisasi Islam bersatu dengan mendirikan federasi Majelis Islam Ala Indonesia (MIAI) pada tahun 1937. Atas inisiatif hadratusseikh, semua organisasi Islam bisa bersatu.
Sementara itu, Emil Dardak menilai buku tersebut menghadirkan perspektif yang agak berbeda terhadap apa yang diperjuangkan oleh hadratussyaikh. KH Hasyim Asy’ari sangat memberi perhatian terhadap persatuan dan sikap gotong royong masyarakat Islam di Indonesia.
“Melalui MIAI, umat Islam terwadahi. Memang perbedaan tidak menjadi pemisah, tetapi mari kita mencari sebuah kesamaan visi,” pungkasnya. (*)