DPW BNPK Jatim Soroti BPN Surabaya l

DPW BNPK Jatim Soroti BPN Surabaya l
Ketua DPW GNPK Jatim Rizky Putra Yudhapradana

SURABAYA (Wartransparansi.com) – Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Gerakan Nasional Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jawa Timur (DPW GNPK Jatim) Rizky Putra Yudhapradana melayangkan surat ke Ombudsman RI di Jawa Timur (Jatim ). Ia meminta atensi agar pelayanan administrasi di Badan Pertanahan Nasional (BPN) Surabaya 1 dapat berjalan dengan lancar dan baik.

Pihaknya juga membawa hal ini dalam agenda audiensi dengan Pemerintah Kota Surabaya, Rabu (10/7/2024)

Rizky menyatakan sangat ironis, jika Presiden RI sudah memberi kemudahan di dalam mengurus sertifikat agar tidak terdapat masalah terkait kepemilikan tanah, namun ternyata di tingkat bawah masih carut marut. Ia menduga, karena pelayanan BPN Surabaya 1 yang ditengarai berbelit-belit dan menggunakan standart ganda, maka rakyat yang menjadi korbannya.

“Jadi dari laporan pengaduan yang kami terima, masih banyak pelayanan di BPN Surabaya 1 yang berbelit-belit, mengada-adakan aturan yang tidak ada. Dan yang perlu diperhatikan menggunakan standart ganda, yaitu dalam suatu permohonan yang sama, tetapi ada 2 perlakuan yang berbeda,” ujarnya.

Rizky mengatakan, BPN sebagai lembaga administrasi yang melakukan pencatatan, diduga overlap dengan melakukan tindakan-tindakan yang seolah melakukan uji materi terhadap suatu permohonan. Salah satu kasus yang dilaporkan ke DPW GNPK Jatim adalah kasus hilangnya SHM di Banyu Urip dan kasus permohonan Pendaftaran Sertifikat di daerah Tubanan.

Rizky melanjutkan, hilangnya SHM di Banyu Urip, diduga pihak BPN Surabaya 1 banyak menerapkan aturan tambahan. BPN harusnya tidak ada persyaratan dalam proses penerbitan sertifikat pengganti karena hilang.

“Jadi ada syarat-syarat yang diminta untuk proses penerbitan SHM pengganti karena hilang ini merupakan syarat tambahan, di mana hal tersebut dilakukan sebagai bentuk kehati-hatian, namun malah overlap dari tupoksi BPN dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga administratif pencatatan. Padahal ada mekanisme gugatan apabila timbul sengketa dan hal-hal lainnya,” ujarnya

Selain kasus SHM hilang, kasus permohonan pendaftaran SHM di Tubanan juga tidak kalah menarik, BPN Surabaya 1 diduga “menjaga” Hak Prioritas selama kurang lebih 20 tahun atas nama Hak yang sudah habis masa berakhirnya (bahkan sudah dianggap dibatalkan), namun BPN tidak pernah menyurati pihak pemegang hak prioritas tersebut.

“Ini yang dianggap standart ganda, di satu sisi BPN Surabaya 1 mempertahankan Hak Prioritas seseorang entah sampai kapan, di Kasus Banyu Urip, BPN tidak mengindahkan Hak Prioritas Pemegang Hak. Padahal di Kasus Banyu Urip adalah SHM dan di Kasus Tubanan adalah SHGB yang sudah mati. Jika tidak ada kadaluwarsa Hak Prioritas, buat apa memperpanjang SHGB?” ungkapnya. (*)