Akhirnya bersedia Bersimpuh Di hadapan Yang Maha Kuasa (4)

In Memoriam Tujuh Hari Wafatnya Pelukis Hardi (5 - terakhir)

Akhirnya bersedia Bersimpuh Di hadapan Yang Maha Kuasa (4)
Mengenang pelukis Hardi

Maka tatkala Susan wafat, jiwa Hardi serasa remuk redam. Sebagian dari jiwanya sendiri seperti ikut melayang.
Tanpa sadar Hardi mulai berubah. Nafsu makanny sedikit demi sedikit berkurang, sampai kehilangan selera sama sekali.
Perlahan-lahan kesehatan memburuk. Jago silat ini mulai kehilangan banyak tenaga. Energiny seperti telah terkuras. Dan akhirnya dia pun jatuh dari tangga di rumahnya.

Sejak itu praktis Hardi kehilangan dirinya sendiri. Dia mulai dihinggapi dimensia, penyakit mudah lupa, sehingga sulit mengenali kawan-kawan dekatnya sendiri. Tubuhnya juga mulai susut. Makanya meski saya termasuk orang yang sejak awal mengetahui Hardi sakit, saya sebelumnnya tak pernah memberitakannya, apalagi memasang foto setelah sakit.

Pertama, pada awalnya itu memang permintaan keluarganya, sakitnya Hardi jangan banyak diekspos, agar tidak terlalu banyak yang bezok. Kedua, memang menurut saya memasang foto Hardi sedang sakit agak kurang etis.
Meski sedang sakit Hardi, selalu berupaya tetap teraenyum kepada tamu yang membezuknya. Padahal dia sudah tak lagi faham siapa yang dihadapannya.

Ilhwal profil pelukis kelahira Blitar 26 Mei 1951 dengan pendidikka Jan Van Eyck Academie dan ASRI itu telah banyak diungkap orang dan dapat ditelusuri jejaknya di media digital. Jadi, disini tak perlu saya mengulang-ulang kembali.
Satu hal yang jelas, Hardi seorang yang pemberani. Siapapun yang dinilainya keliru, bakal blak-blakan dikritik atau diserangnya. Dia hampir tidak pernah memikirkan siapa pihak yang diserang, karena Hardi memang tidak takut kepada siapa-siapa. Dia orang yang blak-blakan.

Hardi juga seorang yang peka terhadap ketidakadilan. Dia segera sewot luar biasa terhadap ketidakadilan sosial. Dia berani meneriakan siapapun yang dipandangnya berbuat zholim dan berkianat. Oleh sebab itu dulu dia membuat kartu pos dengan gambar karyaya memaparkan kemiskinan masyarakat dan ketidakadilan sosial.

Sikap anti melawan ketidakadilan juga diterapkan kepada dirinya sendiri. Kalau ada panitia pameran lukisan tidak jujur, termasuk soal harga dan pembagian keuntungan atau pembayaran yang tidak beres, pastin disemprotnya habis-habisa!. Selain Hardi yang bercerita soal ini, saya pun kerapa mengetahuinya sendiri.

Watak dan sikap seperti itu membuat Hardi bagi sebagian orang dikenal sebagai pelukis yang “begal.” Kalo dalam benaknya tidak masuk akal, dia dipandang menjadi sulit diatur. Dia bagaikan singa yang siap menggaum.

Tetapi sejatinya di balik penampilannya, Hardi ialah seorang yag berhati lembut. Jika mengetahui ada sesuatu yang menyebabkan seseorang tertimpa ketidakadilan, Hardi mudah tersentuh. Beberapa kawan dekatnya sering dibantu diberikan duit, dan dia tak pernah ngomong kemana-mana soal pemberian itu, kecuali kepada satu dua sahabat karibnya seperti saya.

Para wartawan atau orang yang mewawancarainya tak jarang diberikan lukisan karyanya begitu saja. Dia faham benar banyak yang ingin memikiki karyanya tetapi kantungnya tidak cukup. Dengan ikhlas Hardi sering memberi karyanya kepada mereka.

Dalam beberapa tahun terakhir sebelum wafat Hardi juga menjadi rajin sholat, sesuatu yang dahulu seperti tak mungkin dilakukan Hardi. Rupanya Hardi mendapat semacam hiday, akhirnya semua kembali kepada Pencipta. Hardi di hari tuanya bersedia bersimpuh di hadapan kebebasaran Tuhannya.

Dari dunia fana ini, saya mengulurkan tangan kepada Hardi sahabatku: Jabat erat, Mas Hardi. (*)