CATATAN DARI WHATS APP : BUKU PUISI TEMPE REBORN PPP

CATATAN DARI WHATS APP : BUKU PUISI TEMPE REBORN PPP

Mantan pelaut yang sudah puluhan tahun tidak “menggumuli” puisi, kembali tesentak ketika teman-teman “seangkatannya” berkali-kali menyuguhkan puisi² yang lembut, garang dan men-dayu-dayu. Di awali dgn TIRAI oleh Wina Armada Sukardi, kemudian Heryus Saputro Samanhudi dengan MELATI OH MELATI, dan kemudian oleh Eka Budianta dengan memviralkan puisi BERTEMU CHAIRIL.

Betapa indahnya kehidupan di hari tua itu “dihinggapi” teman-teman sesama pecinta keindahan kata dan kesucian suara sukma tanpa sekat dan tanpa bibir bermadu. Teruskan sahabat…!

Seperti yang saya tulis beberapa waktu yang lalu produktivitas berpuisi saya itu hanya di era 1973-1993 saja. Karena beralih fungsinya tugas saya di sebuah BUMN untuk membantu peusahaan meminimize kehilangan minyak (milik rakyat indonesia) di laut dari Loading Port (L/P) ke Discharging Port (D/P) yang hingga hari ini (setelah saya pangsiun >13 thn) masih terjadi, mengakibatkan kreativitas saya di dunia puisi padam.

Kegersangan kehidupan pelaut di tengah samudra (1975-1992) yang kemudian berganti tugas menjadi “motivator, instruktur dan inspektor “memburu” mafia migas di laut, benar-benar membuat saya lelah (1993-2010).

Kalau ada yang mengatakan “hidup itu panggung sandiwara” saya saksikan dan buktikan di beberapa fungsi perusahaan BUMN yang beberapa pekerja dan pejabat terasnya pengidap kleptomani. Dan…, karena kita sudah kakek² seyogianya di halaman terakhir Buku Kumpulan Puisi Tempe (BKPT 2023) juga dilengkapi dengan “Who is How” lima “manusia tempe”-nya.

Bayangkan, seorang pemuda Sangihe yang lahir di Bitung (Sul.Ut) berkiprah seni teater di Surabaya, kemudian “aktivis seni” ini populer namanya di Radio ARH Jakarta, tanpa sengaja dan tanpa direncanakan bisa “mempatronkan” empat penyair terdepan dari 39 (?) penyair (dalam BKPT, 1979) sebagai penyair faksi “kaki langit” (sinonim dari kata horizon). Secara satire Arthur John Horoni mendobrak eksistensi penyair “horison” untuk mengakui keberadaan penyair “kaki langit”. Waktu itu (1977) aliran puisi di Republik Indonesia dikuasai dan didominasi kelompok yang disebut mapan, hanya akan “membaptis” atau “membaiat” eksistensi penyair baru dalam majalah Sastra HORISON.

Empat penyair yg diseleksi oleh Remy Silado, Toeti Heraty Nurhadi, dan Taufiq Ismail tersebut, saat itu berasal dari “baik ground” yang berbeda. Ada ada anak Minang yang jadi pelaut dan sedang melanglang buana ke Arab Saudi, Kuwait, Napoli, Port Dikson, Manila dll.

Ada remaja kelahiran desa Ngimbang di Jawa Timur, yang kelak kuliah di FS UI, jadi Lecturer dan sebagai “aktivis kesusasteraan” melanglanbuana ke Eropa, Tiongkok dan Korea. Ada siswa SMA Sumbangsih di Jakarta Selatan (1977) yang belum ngebayang kelak mau jadi wartawan, advokat, konsultan, bahkan juri “hiburan layar lebar”✋????. Ada remaja yang lahir dan dibesarkan di Betawi belahan Timur, yang saat ikut lomba puisi (1977) bekerja jadi tukang parkir (????????✋????) di Pasar Majestik Kebayuranlama, kemudian di penghujung kariernya malah dikenal sebagai mantan fotografer senior majalah Femina, aktivis pecinta alam, dan anggota Komunitas Seni Bulungan dan Asosiasi Tradisi Lisan.

Sejarah mencatat. Empat puluh enam tahun (paska 1977) setelah kelahiran faksi penyair tempe (yang waktu itu meletakkan Emha Ainun Najib pada “finalis deretan belakang”) ternyata remaja yang “dibentuk oleh lingkungannya sendiri”, tidak ikut dan tidak kebagian dalam gerbong Forum Penyair Muda Jakarta (1976-1977) yang “berkiblat pada dewa² di zaman itu” hari ini masih eksis dgn kreativitas monumental. Kembali menerbitkan buku Kumpulan Puisi² Tempe edisi lux yang (rencananya?) lengkap dengan Who is How deretan lima manusia yang hari ini bersatu dan terlibat untuk mewariskan sebuah buku monumental buat generasi penerus setelah kita tidak ada lagi kelak.