Yang tentu juga tak akan luput dari cerita saat berkumpul bersama keluarga, sambung Adi, adalah perjalanan mudik ke kampung halaman. Melintasi ratusan kilometer jalanan tentu menyisakan banyak cerita.
“Mudik selalu penuh warna, dan inilah penanda kemeriahan Lebaran yang khas Indonesia. Kita bersyukur, mudik juga telah mampu menggerakkan perekonomian, sehingga ekonomi rakyat terus terjaga dengan relatif baik,” ujarnya.
Adi mengajak semua warga, didalam momen lebaran ini untuk meningkatkan kepedulian kepada lingkungan sekitar, terutama para tetangga. Meski Surabaya telah menjadi kota metropolitan, suasana keguyuban antar-warganya tak boleh hilang. Tradisi unjung-unjung telah memperkuat keguyuban dan tali persaudaraan di antara warga masyarakat.
“Kepedulian kepada tetangga sangat penting. Mari kita tengok kondisinya. Rasa saling peduli ini yang menjaga Surabaya tetap menjadi kota metropolitan namun selalu penuh kisah-kisah humanis dalam keseharian warganya. Jangan ada sikap individualisme dalam kehidupan antar-warga,” papar alumnus FISIP Universitas Airlangga Surabaya ini.
Adi menuturkan, tradisi halal bihalal di masyarakat Indonesia lahir dari dialog Presiden pertama Ir Soekarno dengan ulama NU KH Wahab Chasbullah. Pada 1948, saat awal republik berdiri masih diwarnai banyak pertentangan politik, Bung Karno meminta pendapat dari KH Wahab Chasbullah, di mana kemudian diberikan saran agar diselenggarakan silaturahmi antar-anak bangsa.
Adi menambahkan, kemudian Bung Karno meminta istilah selain silaturahmi, sehingga tercetuslah “halal bihalal”, sebuah penanda bahwa setiap pertentangan dan konflik antar-anak bangsa harus saling dimintakan maaf sehingga semua menjadi “halal”.
“Semarakkan halal bihalal di kampung-kampung, untuk menjadi sarana saling peduli antar warga. Juga melibatkan UMKM kampung untuk pemenuhan kebutuhan. Semuanya indah dan guyub, dan saling menumbuhkan,” pungkas Adi. (dji)